Apa yang akan kamu
katakan padaku jika kusebut aku mencintai suami orang? Pasti kamu akan
membelalakan matamu dan mencemoohku habis-habisan. Benar bukan?
Makanya, saat ini aku
sedang lari terbirit-birit . Aku berusaha pergi sejauh mungkin dari Bara, pria yang
membuat hatiku berdentum berkali-kali setiap melihat senyum dari bibir manisnya
yang dihiasi brewok seksinya.
Sayangnya, saat pintu
lift terbuka, aku tak bisa menghindar. Dengan cepat dia menangkap pergelangan
tanganku, menarikku masuk, dan mengurungku dalam dekapannya yang posesif.
“Apa sebenarnya yang kamu
pikirkan, Sara.” Bisiknya di telingaku.
“Kita di kantor, Bara!”
kucoba mengingatkannya. Meski sekarang kami hanya berdua, kemungkinan kepergok
sangat besar.
Perlahan pelukannya
mengendur. Dan dia menjauh dariku.
Ting…
Pintu lift terbuka di
lantai dasar. Dia kembali menarikku keluar. Untung kantor sudah sepi karena jam
sudah menunjukkan jam 10 malam.
“Satu bulan ini kamu
kemana?” Bara tak memberi jeda sedikitpun setelah kami naik mobilnya.
“Aku mengambil tugas di
Kalimantan.”
“Why?!” tanyanya lebih tepat disebut teriakan.
“Ya, karena aku menerima
tawaran itu.”
Dia mengernyit. Aku tahu,
ini bukan jawaban yang membuatnya puas.
“Lihat aku, Sara!” Aku
meringis merasakan cengkramannya di rahangku. “Aku sudah bilang, aku sedang
mengurus perceraianku. Bisakan kamu bersabar sedikit?”
Kulepas tangan Bara. Aku
menggeleng. “Aku nggak mau disebut perebut suami orang!”
“Aku bercerai bukan
karena kamu. Istriku selingkuh. Kamu tahu itu!” dia mendesah. “Kamu yang
mengobatiku, Sara. Kamu yang membuat aku hidup kembali. Sekarang, kamu mau
membunuhku lagi?”
Kubuang tatapan mataku
jauh darinya. “Orang lain mengatakan hal yang berbeda, Bara.” Suaraku lirih.
“Kenapa kamu selalu
peduli dengan orang lain?”
“Karena aku punya
keluarga yang namanya harus kujaga. Umurku sudah tiga puluh tahun, Bara. Aku
belum menikah sampai saat ini saja sudah membuat beban orang tuaku. Jika
ditambah dengan gunjingan orang, bagaimana denganku? Aku mohon kamu bisa
mengerti!”
“Aku akan bicara sama
keluargamu,” katanya tegas. “Aku akan jelaskan semuanya.”
Aku menggeleng. “Jangan,
aku mohon jangan. Jika kamu melakukannya, aku tak akan bisa mengelak dari
perjodohan itu.”
“Perjodohan?” teriaknya. “Apa
lagi ini?” Dia mengusap wajahnya frustasi.
“Makanya, aku memutuskan
untuk mengambil kerjaan di Kalimantan. Hanya satu tahun. Setelah aku kembali,
kita lihat seperti apa Tuhan menentukan nasib kita.”
Kuhela nafasku. Aku
sangat ingin menghentikan air mataku, tapi gagal.
Bara merengkuh tubuhku. “Oke,
aku akan mengikuti apa yang kamu mau. Aku akan buktikan, kalau aku benar-benar
mencintaimu. Aku akan secepatnya menyelesaikan urusanku. Dan, aku akan
mengunjungimu jika semua sudah selesai. Setelah kamu kembali, aku akan
melamarmu. Saat itu, aku yakin aku sudah pantas di depan orang tuamu, Sara.”
Aku mengangguk.
Kubenamkan wajahku di dadanya. Merekam wangi tubuh Bara sebelum aku pergi
meninggalkannya. Sejenak bersembunyi sebelum aku berani mengakui cintaku
padanya di depan semua orang.
“Maaf, Bara, aku tak
menemanimu saat kamu butuh aku.”
Kusentuh jambangnya. Dia
terpejam. Kukecup pipinya dan dia membuka matanya.
“Saat ini, aku hanya
butuh tahu, kalau kamu juga mencintaiku, Sara.”
Dia mengusap pipiku,
menghapus air mataku.
Aku mengangguk, dan dia
mencium bibirku lembut.
Setelah ini, aku akan membayar semuanya. Aku akan menjadi
wanita terakhir dan terbaik untukmu, Bara. Itu janjiku!
No comments:
Post a Comment