Gimana sih perasaan cewek
yang dibilang gendut sama cowok di depan orang banyak? Malu, jelas! Kesel,
marah, buanget! Nggak terima, dongkol. Yep,
suer itulah yang sedang berkecamuk di dalam hatiku. Perasaan ingin membunuh
si cowok bernama Evan itupun belum lenyap dari angan-anganku.
Meskipun tragedi itu
sudah berlalu beberapa hari, dan dia sudah beberapa kali mendekatiku untuk
membuatku memaafkannya dengan mengatakan, “Nay, kita sahabat!” tak berpengaruh
sama sekali sama aku. Ya, intinya tak setitikpun rasa kesalku pada Evan luntur
dengan segala hal yang dia lakukan. Karena kali ini Evan keterlaluan tingkat
dewa.
Dan perasaan kesalku
itulah yang membuatku terdampar di A1 Espresso, sebuah café langgananku, untuk
menunggu Alsa, sepupuku. Dia bilang dia ada di sekitar A1 Espresso, jadi dia
ingin aku menunggunya di sana. Tapi, sudah setengah jam lebih aku duduk
sendirian di sini dengan segelas lemon teaku.
“Hai, dear!”
Nah, itu suaranya. Kuhela
nafasku penjang seperti melepas kejenuhan yang menyelimutiku.
“Dah lama?” tanyanya
sambil duduk di sofa merah marun di depanku.
“Banget!” jawabku agak
sewot.
“Sorry, abis meeting-nya
molor, sih! Penulis pemula, jadi jelasinya agak detail.” katanya sambil melambai
pada seorang pelayan untuk menghampiri kami.
Cewek pelayan itu
meletakkan buku menu di depannya. Tapi, Al nggak mempeduliakannya.
“Dua cappuccino,” pesannya dengan senyum ramah, khas dia banget.
“”Aku udah pesan lemon tea!” kuangkat gelasku yang masih
menyisakan setengah isinya.
“Percaya sama aku, kamu
butuh kopi untuk merenggangkan saraf-sarafmu.” Dia mengedipkan sebelah matanya
padaku. “Dua cappucinno, mbak!”
ulangnya dengan nada ramah yang sama pada si pelayan yang tampak membalas
senyum sepupu mungilku ini.
“So, apa yang bikin kamu ngundang aku ke sini, dear!” Al menyilangkan kakinya dan meletakkan lengannya di atas
lututnya untuk menyangga dagu runcingnya yang manis. “Masih masalah yang sama?”
tebaknya.
Yah, aku memang cerita
semua kejadian memalukan di malam itu sama dia.
Aku mengangguk sambil
mengangkat gelas lemon tea-ku dan
menegukkanya untuk menghapus sedikit perasaan kesalku, agar kesannya aku tak
terlalu menanggap masalah ini terlalu berlebihan.
Al ketawa, “Segitu
keselnya kamu sama sobatku itu?”
Aku mengangguk.
Ah, iya! Evan adalah
sahabat baik Al sejak kuliah. Dan aku mengenal Evan sebelum kami kerja di
perusahaan yang sama karena sepupuku ini. Kemudian, terbentuklah ikatan tak
terlihat antara kita bertiga plus satu cowok lagi.
“Udahlah, Nay, kamu kayak
nggak tahu Evan aja!” Kupelototi dia dengan geram, membuat Al tertawa lagi.
“Bukannya aku mau belain dia. Tapi, seperti yang aku sering katakan sama kamu,
Evan itu ada rasa sama kamu.”
Kubuang tatapanku ke luar
kaca besar di sampingku, tampak hujan makin deras dan sedikit angin semilir
yang membuat daun-daun itu bergerak lincah. Cahaya lampu mobil menembus butiran
air hujan dan menciptakan siluet pendar yang romantis. Sayangnya, mereka malah
membuat hatiku berdenyut aneh.
Pelayan datang dan menurunkan
pesanannya, dua cappucinno, untukku
dan untuknya sendiri.
“Terima kasih,” katanya
sebelum pelayan itu pergi.
Tatapan Al kembali
padaku, namun perhatianku lebih pada cappuccinno
di depanku. Kayaknya, si Al emang benar, aku butuh kopi untuk menenangkan diriku
sendiri.
“Nay, aku pernah bilang
gini, kan sama kamu?” pertanyaannya membuatku menatapnya. Dia kembali tersenyum
sambil meraih gagang cangkirnya dan menyesap cappucinno panas sebelum melanjutkannya. “Evan itu tipe cowok yang
mulut sama hatinya beda. Lain banget sama Ben.”
Nah, inilah satu lagi
cowok yang juga terikat dengan kami bertiga. Namanya Ben. Dia adalah teman baik
Alsa selain Evan. Aku juga kenal Ben, dan kami cukup akrab. Ah, salah! Aku
sangat akrab sama Ben.
Sebenarnya, aku, Ben, Alsa
dan Evan udah jadi teman dekat sejak kami kuliah. Bedanya, Al, Ben dan Evan
adalah seniorku. Dan aku, bergabung dengan mereka karena Al. Begitulah akhirnya
kami jadi teman nongrong yang asik. Tapi, memang sejak dulu, aku dan Evan lebih
sering berantemnya daripada akurnya.
“Kalau Ben, hati sama
mulutnya itu kompak banget. Contohnya, kalo Ben bilang, ‘don’t touch me!” artinya dia emang nggak suka sama tuh cewek, or siapapun. Kalo Evan nggak gitu, saat
dia bilang ‘Nay, kamu gendut….” Al menghentikan kalimatnya dan malah ketawa,
karena melihatku terlihat kesal. Tapi, aku nggak mau memotong argumennya.
Akhirnya dia melanjutkan kalimatnya. “….Bukan itu yang ada di otak Evan.
Maksudku, Evan nggak bermaksud menghina kamu, dia cuma mau kamu berubah lebih
baik, dia hanya ingin memperlihatkan perhatiannya sama kamu.”
“Dengan cara senyebelin
itu?” selorohku.
Al menangguk mantap. “Dan
saat Evan bilang sama kamu kalau kamu sahabatnya, itu sebenarnya dia nggak
ngomong itu buat kamu, tapi buat dirinya sendiri.”
“Meaning?”
“Dalam hati Evan, ada feeling yang coba dia rendam. Dia
mengatakan kalian sahabat biar hatinya sadar, dia hanya akan nganggep kamu
sahabat, nggak lebih dari itu meski hatinya minta lebih. Karena buat dia,
sahabat akan selamanya adalah sahabat. Dia nggak mau ngerusak itu.”
Jenis komentar dengan
inti sama seperti yang beberapa kali dia sampaikan sama aku setiap kali kuputar
cerita menyebalkannya Evan.
Aku alihkan kembali
tatapanku ke arah hujan. Dan Al, kembali menyesap minuman kesukaannya.
“Ini nggak boleh pesan snack, ya?” guraunya padaku.
Kuhela nafas panjang,
membuatnya tertawa renyah.
“Dasar, minta dijemput,
minta ditraktir, pake mau minta yang lain pula!” keluhku padanya.
Tawanya makin kencang,
“Kan, kamu yang minta ketemuan!”
“Aku minta ketemuannya di
rumah kamu, kaleee!”
Dia mengibaskan sebelah
tangannya. “Fokus ke masalah, dear!”
dia berdehem singkat dan menatapku lagi, tanpa senyum. “Kamu tahu kenapa Evan
mau bonceng aku pake motornya dan nggak mau nganter kamu pulang kalau nggak
terpaksa banget?”
Aku menggeleng, “Karena
dia memang asli hanya punya feeling
sahabat sama aku. Dan, nggak sama kamu.”
Kusipitkan mataku ke
arahnya, menuntut keseriusan dari Al. Dan cewek di depanku itu hanya mengangguk
lemah untuk meyakinkanku.
“Inget kejadian saat aku
minta Ben nganter aku ke suatu tempat padahal waktu itu dia bawa motornya yang
dimodif super nungging itu?”
Aku mengangguk lagi, itu
kejadian waktu mereka masih kuliah. Berapa tahun yang lalu, ya?
“Kamu tahu kenapa si Ben
lebih milih minjem motor orang lain, dan bukannya nganterin aku pake motornya
sendiri?”
Kuangkat bahuku sekali.
“Karena Ben menghormati
aku sebagai sahabat, bukan cewek yang…” dia mengedikkan dua jarinya sebagai
tanda petik sambil mengakatakan, “…bisa dimanfaatkannya. Intinya, Ben nggak
ingin ada kontak fisik yang ekstrim antara aku dan dia.” Al melirik ke meja
samping kami. Ternyata, tawa empat ABG di meja itu mengganggunya, karena aku
melihat kerutan samar muncul di dahinya. “Tahu maksudku?”
Kalimat tanyanya
membuatku berpaling lagi padanya. Aku menggeleng, karena tawa ABG-ABG itu juga
membuatku sedikit kehilangan fokusku pada omongan panjang lebar Al.
Dia terpejam sesaat dan
menatapku lagi. “Kebayang nggak kayak apa jadinya kalau ada cewek naik di
boncengan si cacing?”
Cacing adalah julukan
motor modif milik Ben. Motor Jupiter MX berroda kecil dan skok yang ditinggikan
itu memang tampak kerempeng. Dan, nama cacing akhirnya kami sematkan untuknya.
“Dada si cewek bakalan
nempel di punggungnya!” Alsa mengernyit dan bergidik. “Inget waktu kita ngelihat
si Ben sama cewek…” dia tampak mengingat salah satu nama cewek yang sempat
dekat dengan Ben. “Lupa!” katanya sambil tersenyum. “Yang jelas dadanya yang
montok itu kelihatan melekat di dada Ben, dan itulah modus dia bikin bagian
belakang si cacing lebih tinggi!”
Kunaikkan alisku, dan
kami ketawa ngakak mengingat adegan itu.
“Dan, Ben nggak pingin
ada adegan kayak gitu antara aku dan dia.” lanjut Al.
“Karena kamu sahabatnya?”
kutebak maksudnya.
Alsa mengangguk, “Cu-cok!”
Aku manggut-manggut saja.
Semua argumennya sampai
detik ini sangat masuk akal. Pantes banget makhluk cewek ini bisa jadi editor
handal sebuah penerbit besar. Karena Alsa memang diciptakan untuk memahami
bidang cinta lebih dari yang lain.
“Tahu nggak, Nay. Kamu
itu harus belajar mengartikan semua hal tentang Evan. Sama seperti aku memahami
dua cecunguk itu luar dalam meski aku cuma sohibnya.”
“Karena Evan itu tipe
cowok yang ngomong pake hati, dan sedikit sensitif,” tebakku.
“Nah!’ dia menjetikkan
jarinya. “Itu tahu!”
“Dan Evan beda dari Ben!”
lanjutku, membuat Al mengangguk.
“Lagi…” Al berdehem dan
menatapku jahil. “Manusia nggak bisa ngelihat dirinya sendiri dengan utuh tanpa
cermin yang memantulkan bayangannya. Sama kayak hati, mungkin pemiliknya
sendiri nggak bisa memahaminya, tapi orang lain yang melihatnya bisa dengan
jelas tahu apa yang ada di dalamnya.”
“Apalagi ini?” Aku
melotot padanya karena aku tahu, yang ini pasti sindiran.
“Ini artinya, aku lebih
tahu apa yang kalian rasakan, dari pada kalian sendiri. Jadi, jangan ngeyel!”
Kuangkat alisku, lagi.
“Aku merasakan sesuatu di
antara kalian. Sesuatu yang coba kalian tolak, dan kalian sibuk berpura-pura
untuk menyembunyikan sesuatu itu.” Jelasnya serius.
“Sesuatu apa, Al?”
“Cinta!” Al menyeringai
geli ke arahku.
“Ngaco!”
Dan kembali Alsa tertawa,
“Kita lihat saja, seberapa kuat kalian berpura-pura! Aku dan Ben akan menjadi
penonton dan komentator setia untuk kalian berdua.” Dia mengedipkan sebelah
matanya sambil mencomot Hermes handbag-ku,
mengambil dompetku, dan mencomot kartu kreditku, lalu melambai ke arah pelayan
untuk meminta tagihannya.
Kubiarkan aktivitas
ilegalnya itu karena semua kata-kata Alsa memenuhi benakku. Benarkah Evan punya
perasaan seperti itu padaku? Atau itu cuma argumen Al?
“Yuk, dear, anterin aku balik!”
Kulihat Al sibuk memasukkan
agenda dan ponselnya ke dalam Messenger
bag keluaran Louis Vuitton yang
dibelikan mamanya di Singapura bulan lalu, yang dia hina gina katanya tas orang
tua banget. Tapi, akhirnya dipakai juga. Dasar!
Aku mengagguk dan
mengikuti langkah Alsa yang lebih dulu keluar café.
Tentang Evan, biarkan
saja dulu. Dia terlalu menyita waktuku jika kuputuskan melanjutkan memikirkan
masalah kami.
Oh, God! Semoga Alsa salah! Cinta dalam persahabatan kayak jalan dengan mata
tertutup, nggak ada yang tahu apa yang akan kita lalui di depan sana. Huft!
***
Kisah sebelumnya, Drama Big Gueen Bag. 1
No comments:
Post a Comment