Monday, March 24, 2014

Drama Big Queen Bag. 2 - MEMAHAMI RASA CAPPUCINNO DAN LEMON TEA

Gimana sih perasaan cewek yang dibilang gendut sama cowok di depan orang banyak? Malu, jelas! Kesel, marah, buanget! Nggak terima, dongkol. Yep, suer itulah yang sedang berkecamuk di dalam hatiku. Perasaan ingin membunuh si cowok bernama Evan itupun belum lenyap dari angan-anganku.
Meskipun tragedi itu sudah berlalu beberapa hari, dan dia sudah beberapa kali mendekatiku untuk membuatku memaafkannya dengan mengatakan, “Nay, kita sahabat!” tak berpengaruh sama sekali sama aku. Ya, intinya tak setitikpun rasa kesalku pada Evan luntur dengan segala hal yang dia lakukan. Karena kali ini Evan keterlaluan tingkat dewa.
Dan perasaan kesalku itulah yang membuatku terdampar di A1 Espresso, sebuah café langgananku, untuk menunggu Alsa, sepupuku. Dia bilang dia ada di sekitar A1 Espresso, jadi dia ingin aku menunggunya di sana. Tapi, sudah setengah jam lebih aku duduk sendirian di sini dengan segelas lemon teaku.
“Hai, dear!”
Nah, itu suaranya. Kuhela nafasku penjang seperti melepas kejenuhan yang menyelimutiku.
“Dah lama?” tanyanya sambil duduk di sofa merah marun di depanku.
“Banget!” jawabku agak sewot.
Sorry, abis meeting-nya molor, sih! Penulis pemula, jadi jelasinya agak detail.” katanya sambil melambai pada seorang pelayan untuk menghampiri kami.
Cewek pelayan itu meletakkan buku menu di depannya. Tapi, Al nggak mempeduliakannya.
“Dua cappuccino,” pesannya dengan senyum ramah, khas dia banget.
“”Aku udah pesan lemon tea!” kuangkat gelasku yang masih menyisakan setengah isinya.
“Percaya sama aku, kamu butuh kopi untuk merenggangkan saraf-sarafmu.” Dia mengedipkan sebelah matanya padaku. “Dua cappucinno, mbak!” ulangnya dengan nada ramah yang sama pada si pelayan yang tampak membalas senyum sepupu mungilku ini.
So, apa yang bikin kamu ngundang aku ke sini, dear!” Al menyilangkan kakinya dan meletakkan lengannya di atas lututnya untuk menyangga dagu runcingnya yang manis. “Masih masalah yang sama?” tebaknya.
Yah, aku memang cerita semua kejadian memalukan di malam itu sama dia.
Aku mengangguk sambil mengangkat gelas lemon tea-ku dan menegukkanya untuk menghapus sedikit perasaan kesalku, agar kesannya aku tak terlalu menanggap masalah ini terlalu berlebihan.
Al ketawa, “Segitu keselnya kamu sama sobatku itu?”
Aku mengangguk.
Ah, iya! Evan adalah sahabat baik Al sejak kuliah. Dan aku mengenal Evan sebelum kami kerja di perusahaan yang sama karena sepupuku ini. Kemudian, terbentuklah ikatan tak terlihat antara kita bertiga plus satu cowok lagi.
“Udahlah, Nay, kamu kayak nggak tahu Evan aja!” Kupelototi dia dengan geram, membuat Al tertawa lagi. “Bukannya aku mau belain dia. Tapi, seperti yang aku sering katakan sama kamu, Evan itu ada rasa sama kamu.”
Kubuang tatapanku ke luar kaca besar di sampingku, tampak hujan makin deras dan sedikit angin semilir yang membuat daun-daun itu bergerak lincah. Cahaya lampu mobil menembus butiran air hujan dan menciptakan siluet pendar yang romantis. Sayangnya, mereka malah membuat hatiku berdenyut aneh.
Pelayan datang dan menurunkan pesanannya, dua cappucinno, untukku dan untuknya sendiri.
“Terima kasih,” katanya sebelum pelayan itu pergi.
Tatapan Al kembali padaku, namun perhatianku lebih pada cappuccinno di depanku. Kayaknya, si Al emang benar, aku butuh kopi untuk menenangkan diriku sendiri.
“Nay, aku pernah bilang gini, kan sama kamu?” pertanyaannya membuatku menatapnya. Dia kembali tersenyum sambil meraih gagang cangkirnya dan menyesap cappucinno panas sebelum melanjutkannya. “Evan itu tipe cowok yang mulut sama hatinya beda. Lain banget sama Ben.”
Nah, inilah satu lagi cowok yang juga terikat dengan kami bertiga. Namanya Ben. Dia adalah teman baik Alsa selain Evan. Aku juga kenal Ben, dan kami cukup akrab. Ah, salah! Aku sangat akrab sama Ben.
Sebenarnya, aku, Ben, Alsa dan Evan udah jadi teman dekat sejak kami kuliah. Bedanya, Al, Ben dan Evan adalah seniorku. Dan aku, bergabung dengan mereka karena Al. Begitulah akhirnya kami jadi teman nongrong yang asik. Tapi, memang sejak dulu, aku dan Evan lebih sering berantemnya daripada akurnya.
“Kalau Ben, hati sama mulutnya itu kompak banget. Contohnya, kalo Ben bilang, ‘don’t touch me!” artinya dia emang nggak suka sama tuh cewek, or siapapun. Kalo Evan nggak gitu, saat dia bilang ‘Nay, kamu gendut….” Al menghentikan kalimatnya dan malah ketawa, karena melihatku terlihat kesal. Tapi, aku nggak mau memotong argumennya. Akhirnya dia melanjutkan kalimatnya. “….Bukan itu yang ada di otak Evan. Maksudku, Evan nggak bermaksud menghina kamu, dia cuma mau kamu berubah lebih baik, dia hanya ingin memperlihatkan perhatiannya sama kamu.”
“Dengan cara senyebelin itu?” selorohku.
Al menangguk mantap. “Dan saat Evan bilang sama kamu kalau kamu sahabatnya, itu sebenarnya dia nggak ngomong itu buat kamu, tapi buat dirinya sendiri.”
Meaning?”
“Dalam hati Evan, ada feeling yang coba dia rendam. Dia mengatakan kalian sahabat biar hatinya sadar, dia hanya akan nganggep kamu sahabat, nggak lebih dari itu meski hatinya minta lebih. Karena buat dia, sahabat akan selamanya adalah sahabat. Dia nggak mau ngerusak itu.”
Jenis komentar dengan inti sama seperti yang beberapa kali dia sampaikan sama aku setiap kali kuputar cerita menyebalkannya Evan.
Aku alihkan kembali tatapanku ke arah hujan. Dan Al, kembali menyesap minuman kesukaannya.
“Ini nggak boleh pesan snack, ya?” guraunya padaku.
Kuhela nafas panjang, membuatnya tertawa renyah.
“Dasar, minta dijemput, minta ditraktir, pake mau minta yang lain pula!” keluhku padanya.
Tawanya makin kencang, “Kan, kamu yang minta ketemuan!”
“Aku minta ketemuannya di rumah kamu, kaleee!”
Dia mengibaskan sebelah tangannya. “Fokus ke masalah, dear!” dia berdehem singkat dan menatapku lagi, tanpa senyum. “Kamu tahu kenapa Evan mau bonceng aku pake motornya dan nggak mau nganter kamu pulang kalau nggak terpaksa banget?”
Aku menggeleng, “Karena dia memang asli hanya punya feeling sahabat sama aku. Dan, nggak sama kamu.”
Kusipitkan mataku ke arahnya, menuntut keseriusan dari Al. Dan cewek di depanku itu hanya mengangguk lemah untuk meyakinkanku.
“Inget kejadian saat aku minta Ben nganter aku ke suatu tempat padahal waktu itu dia bawa motornya yang dimodif super nungging itu?”
Aku mengangguk lagi, itu kejadian waktu mereka masih kuliah. Berapa tahun yang lalu, ya?
“Kamu tahu kenapa si Ben lebih milih minjem motor orang lain, dan bukannya nganterin aku pake motornya sendiri?”
Kuangkat bahuku sekali.
“Karena Ben menghormati aku sebagai sahabat, bukan cewek yang…” dia mengedikkan dua jarinya sebagai tanda petik sambil mengakatakan, “…bisa dimanfaatkannya. Intinya, Ben nggak ingin ada kontak fisik yang ekstrim antara aku dan dia.” Al melirik ke meja samping kami. Ternyata, tawa empat ABG di meja itu mengganggunya, karena aku melihat kerutan samar muncul di dahinya. “Tahu maksudku?”
Kalimat tanyanya membuatku berpaling lagi padanya. Aku menggeleng, karena tawa ABG-ABG itu juga membuatku sedikit kehilangan fokusku pada omongan panjang lebar Al.
Dia terpejam sesaat dan menatapku lagi. “Kebayang nggak kayak apa jadinya kalau ada cewek naik di boncengan si cacing?”
Cacing adalah julukan motor modif milik Ben. Motor Jupiter MX berroda kecil dan skok yang ditinggikan itu memang tampak kerempeng. Dan, nama cacing akhirnya kami sematkan untuknya.
“Dada si cewek bakalan nempel di punggungnya!” Alsa mengernyit dan bergidik. “Inget waktu kita ngelihat si Ben sama cewek…” dia tampak mengingat salah satu nama cewek yang sempat dekat dengan Ben. “Lupa!” katanya sambil tersenyum. “Yang jelas dadanya yang montok itu kelihatan melekat di dada Ben, dan itulah modus dia bikin bagian belakang si cacing lebih tinggi!”
Kunaikkan alisku, dan kami ketawa ngakak mengingat adegan itu.
“Dan, Ben nggak pingin ada adegan kayak gitu antara aku dan dia.” lanjut Al.
“Karena kamu sahabatnya?” kutebak maksudnya.
Alsa mengangguk, “Cu-cok!”
Aku manggut-manggut saja.
Semua argumennya sampai detik ini sangat masuk akal. Pantes banget makhluk cewek ini bisa jadi editor handal sebuah penerbit besar. Karena Alsa memang diciptakan untuk memahami bidang cinta lebih dari yang lain.
“Tahu nggak, Nay. Kamu itu harus belajar mengartikan semua hal tentang Evan. Sama seperti aku memahami dua cecunguk itu luar dalam meski aku cuma sohibnya.”
“Karena Evan itu tipe cowok yang ngomong pake hati, dan sedikit sensitif,” tebakku.
“Nah!’ dia menjetikkan jarinya. “Itu tahu!”
“Dan Evan beda dari Ben!” lanjutku, membuat Al mengangguk.
“Lagi…” Al berdehem dan menatapku jahil. “Manusia nggak bisa ngelihat dirinya sendiri dengan utuh tanpa cermin yang memantulkan bayangannya. Sama kayak hati, mungkin pemiliknya sendiri nggak bisa memahaminya, tapi orang lain yang melihatnya bisa dengan jelas tahu apa yang ada di dalamnya.”
“Apalagi ini?” Aku melotot padanya karena aku tahu, yang ini pasti sindiran.
“Ini artinya, aku lebih tahu apa yang kalian rasakan, dari pada kalian sendiri. Jadi, jangan ngeyel!”
Kuangkat alisku, lagi.
“Aku merasakan sesuatu di antara kalian. Sesuatu yang coba kalian tolak, dan kalian sibuk berpura-pura untuk menyembunyikan sesuatu itu.” Jelasnya serius.
“Sesuatu apa, Al?”
“Cinta!” Al menyeringai geli ke arahku.
“Ngaco!”
Dan kembali Alsa tertawa, “Kita lihat saja, seberapa kuat kalian berpura-pura! Aku dan Ben akan menjadi penonton dan komentator setia untuk kalian berdua.” Dia mengedipkan sebelah matanya sambil mencomot Hermes handbag-ku, mengambil dompetku, dan mencomot kartu kreditku, lalu melambai ke arah pelayan untuk meminta tagihannya.
Kubiarkan aktivitas ilegalnya itu karena semua kata-kata Alsa memenuhi benakku. Benarkah Evan punya perasaan seperti itu padaku? Atau itu cuma argumen Al?
“Yuk, dear, anterin aku balik!”
Kulihat Al sibuk memasukkan agenda dan ponselnya ke dalam Messenger bag keluaran Louis Vuitton yang dibelikan mamanya di Singapura bulan lalu, yang dia hina gina katanya tas orang tua banget. Tapi, akhirnya dipakai juga. Dasar!
Aku mengagguk dan mengikuti langkah Alsa yang lebih dulu keluar café.
Tentang Evan, biarkan saja dulu. Dia terlalu menyita waktuku jika kuputuskan melanjutkan memikirkan masalah kami.
Oh, God! Semoga Alsa salah! Cinta dalam persahabatan kayak jalan dengan mata tertutup, nggak ada yang tahu apa yang akan kita lalui di depan sana. Huft!
***
Kisah sebelumnya, Drama Big Gueen Bag. 1

No comments:

Post a Comment

 

Jejak Langkahku Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos