Penulis :
Dini Novita Sari
Penerbit :
Bhuana Sastra
Terbit : 2013
Tebal : 198
halaman
Genre :
Traveling, Romance
ISBN : 978 –
602 – 249 – 439 – 3
Harga : Rp.
32.500
“Entah kenapa aku semakin merasakan gejolak
yang hebat untuk berpergian. Sial!
Inilah akibanya kalau terus meracuni diri dengan hal-hal yang kuketahui
telah menjadi passion-ku.” Hlm. 88
Aku tersenyum, ya itu
juga yang aku rasakan. Sejak awal membuka bab pertama Get Lost, aku tahu novel
ini akan cocok denganku. Karena aku juga seorang traveler.
Lana, si cewek kantoran
yang terobsesi dengan traveling
selalu meluangkan waktunya untuk menuntaskan hobinya. Awalnya, alasannya hanya
sekedar untuk menghilangkan kejenuhan dari rutinitasnya di Jakarta.
Namun, perjalanan itu
ternyata lebih dari semua yang dia inginkan. Banyak ilmu hidup yang dia dapat, banyak
teman baru yang bisa dia kenal, dan ada beberapa hal dalam hidupnya yang mulai
terkuak. Yaitu, ternyata tujuan traveling-nya
selama ini tak sesederhana itu. Ada hal lain yang ingin dia tuntaskan.
“… aku menyadari bahwa traveling bukan lagi sekedar sarana untuk melepas stres, atau refreshing. Ada sesuatu yang lebih dari pada itu, yang
membuatku ketagihan untuk melakukan kegiatan ini.” Hlm. 89
Dharma, adalah pria yang
membuat Lana tertular asiknya berpergian. Dia juga yang membuat Lana merasakan
ketergantungan akan hadirnya, dan membuatnya jatuh cinta. Namun akhirnya, dia
juga yang membuat Lana kecewa, karena saat Lana sudah memutuskan mencintai pria
itu, dia malah pergi tanpa jejak. Dan, sejak saat itu, muncul
pertanyaan-pertanyaan dalam diri Lana yang tidak bisa dijawabnya. Namun, di
tempat-tempat yang disinggahinya itulah pertanyaannya sedikit demi sedikit
mulai mendapatkan pencerahan.
“Lo ada di sini untuk mencari jawaban itu kan? Di sisi mana
lo hendak berpijak?”
hlm. 46
“Manusia memang hidup ditakdirkan
untuk mencari jawaban… yang tak kita ketahui, seringnya jawaban itu sudah
tersedia di hadapan kita, kita saja yang terlalu jauh mencarinya, hingga seolah
tak tampak.” Hlm. 46
Pada dasarnya, novel ini
memang cocok untuk pembaca yang hobi traveling.
Karena novel ini memang bercerita tentang perjalanan ke tempat-tempat menarik di
beberapa bagian dunia, seperti Bali, Singapura, Korea Selatan, Surabaya, dan
Bromo.
Namun, karena ada kisah romance dan beberapa ungkapan
inspiratif, novel ini mungkin juga bisa disukai oleh pembaca yang nggak suka
sama sekali sama traveling. Atau,
mungkin pembaca malah akan tertarik dengan hobi Lana setelah menghabiskan
lembar terakhirnya. Siapa tahu, kan?
Get Lost disampaikan dengan sudut pandang orang pertama, yaitu Lana. Dia
menceritakan kisah perjalanannya yang tanpa perencanaan dengan ringan bagaikan
bercerita dengan temannya. Dan cerdiknya, kisah ini semakin semarak dengan
dicampurnya genre traveling dan roman
jadi satu. Ini perpaduan rasa yang unik.
Sayangnya, keindahan
tempat-tempat yang dikunjungi Lana kurang menarikku untuk benar-benar larut
dalam pesonanya. Mungkin karena Lana lebih sering mengungkapkan keindahannya
dengan diskripsi ala reporter, melaporkannya secara tersurat bukan tersirat
dalam setiap adegannya. Atau lebih sederhananya, keindahan setting tempatnya kurang menyatu dengan cerita.
Lalu, aku sedikit ngeri
dengan keberanian Lana menyambut keakraban orang asing dalam hidupnya.
Contohnya, saat Paul mengajaknya tinggal satu kamar. Wao…dia mau? Padahal,
belum tentu Paul itu baik. Sekarang ini, banyak orang jahat berkedok orang baik
dan tulus, ala Paul.
Dalam novel ini ada
beberapa cerita yang sebenarnya jika diceritakan secara detail akan menambah
manisnya kisah romance-nya. Seperti
bagaimana haru-birunya Paul dan Nayna saat kembali bersatu. Kesannya, cerita
ini di-skip dan langsung loncat ke
saat mereka menikah.
Sebenarnya,
loncatan-loncatan antar bab di novel ini memang agak lebar, ya. Apalagi di bab
setelah Lana pulang dari Korea Utara dan bab saat dia pulang ke Surabaya.
Aku kira, saat kubalik
bab setelah Lana kembali ke Indonesia, aku akan mendapati sekelumit kisah Lana
di Jakarta atau mungkin di kantornya. Tapi, tidak seperti itu. Tiba-tiba Lana
sudah di stasiun, menunggu kereta yang akan mengantarnya ke Surabaya.
Setahuku, sebuah novel
harus punya kisah yang runtun antar bab. Jika memang penulis ingin meloncat
langsung ke suatu bagian, penulis harus mempertimbangkan keterkaitan antar
babnya juga. Minimal, memberikan penjelasan yang menghubungkan antar kisahnya.
Namun, inti sari dari apa
yang ingin disampaikan sukses masuk ke dalam hati. Intinya, novel ini sangat
menginspirasi juga. Ehm, dan buat penyuka traveling,
apalagi traveler pemula sepertiku, emang
harus baca novel ini, karena banyak tips yang berguna banget kayak alamat
tempat yang akan disinggahi nggak boleh hilang waktu ke luar negeri. Trus,
ternyata nggak gampang cari penginapan di Poppies Line, Bali. Selama ini, aku
pikir gampang, kayak nyari losmen di sekitar Malioboro, Yogyakarta.
Kisah yang paling
menyentuh di novel ini adalah saat Lana bercerita tentang papanya yang rela
tidur di bawah dan memberikan jatah kursinya untuk dia tidur berselonjor kaki.
Dan, aku juga suka interaksi Lana dan Robin. Mungkin karena Robin yang
karakternya ramai dan beberapa bahasa ala Jawa Timuran yang digunakan Robin
membuat suasana jadi sedikit renyah.
Untuk tempat yang
menurutku menarik adalah Bromo. Alasannya, karena Bromo adalah tempat yang
paling indah yang pernah aku kunjungi. Namun, aku sedikit kecewa karena Bromo
tak banyak diceritakan secara detail. Di sini, hanya Pananjakan, yaitu tempat
melihat sunrise paling indah di Bromo
saja yang dijadikan settingnya.
Padahal, ada savana yang
super eksotis, pasir berbisik yang benar-benar menakjubkan. Atau bagaimana
serunya bertualang dengan Jeep. Ups,
aku lupa. Lana tidak menggunakan Jeep saat menjelajah Bromo, tapi jalan kaki.
Beberapa orang memang ada
yang memilih jalan kaki karena harga sewa Jeep di sana agak mahal, dan mulai
tahun 2014 ini, harga Jeep dan tiket masuk Bromo makin mencekik untuk para traveler tak banyak duit kayak aku.
Huft, tega benar!
Tapi, di sanakan Lana
kenal Krisna yang asli orang Bromo. Kenapa Krisna tak mencarikan Jeep harga
murah untuk Lana dan membiarkan tamunya ini bersusah payah menerjang padang
pasir di malam gelap? Jahatnya!
Spesial untuk endingnya, aku beri jempol dua. Ending seperti ini menurutku ending yang genius. Kenapa? Ada yang
bilang padaku, manusia tak pernah punya kisah tamat dalam hidupnya, kecuali dia
mati. Dan, tak terkecuali dalam fiksi.
Lana memang menutup
kisahnya karena pertanyaannya terjawab. Namun, Lana tidak menamatkannya begitu
saja. Dia memberikan gambaran seperti apa pilihan hidupnya setelah itu. Dia
seperti menyajikan sebuah dessert
yang membuat pembaca minta lebih dan nggak mau berhenti.
So,
aku memberikan rating 2,7 dari 5 bintang untuk novel ini.
Tulisan ini diikutkan dalam Indonesian Romance Reading Challange 2014
Hehe, makasih Dian... senyum2 nih baca resensimu. Pertama, senyum karena apa yang ingin kusampaikan di novel ternyata bisa diterima dengan baik olehmu. Kedua, senyum untuk masukan2 darimu tentang hal2 kurangnya di novel ini. Semua masukanmu 'benar'. Maksudku, memang nggak ada masukan yang salah, sih, tapi memang semuanya kujadikan catatan nih untuk penulisan selanjutnya. Tentang penceritaan tempat yang kurang nyatu dengan cerita, runutan antar babnya terlalu loncat, juga detail tempat yang kurang. Makasih banyak :D Sebagai penulis pemula emang harus banyak belajar, hehehe. Jangan kapok baca novelku yang lain ya (semoga akan segera ada lagi, Amin!). Thanks a looot! *hugs*
ReplyDeleteWeeeiii... Penulisnya komen.
ReplyDeleteHehehehe.... pasti nggak kapok, krn aku suka cara bercerita Mbak Dinoy yang ringan. Tetep semangat berkarya Mbak Dinoy :)