Saturday, March 8, 2014

Resensi – Get Lost “Jejak-jejak Hati”



Penulis : Dini Novita Sari
Penerbit : Bhuana Sastra
Terbit : 2013
Tebal : 198 halaman
Genre : Traveling, Romance
ISBN : 978 – 602 – 249 – 439 – 3
Harga : Rp. 32.500

“Entah kenapa aku semakin merasakan gejolak yang hebat untuk berpergian. Sial!  Inilah akibanya kalau terus meracuni diri dengan hal-hal yang kuketahui telah menjadi passion-ku.” Hlm. 88

Aku tersenyum, ya itu juga yang aku rasakan. Sejak awal membuka bab pertama Get Lost, aku tahu novel ini akan cocok denganku. Karena aku juga seorang traveler.
Lana, si cewek kantoran yang terobsesi dengan traveling selalu meluangkan waktunya untuk menuntaskan hobinya. Awalnya, alasannya hanya sekedar untuk menghilangkan kejenuhan dari rutinitasnya di Jakarta.
Namun, perjalanan itu ternyata lebih dari semua yang dia inginkan. Banyak ilmu hidup yang dia dapat, banyak teman baru yang bisa dia kenal, dan ada beberapa hal dalam hidupnya yang mulai terkuak. Yaitu, ternyata tujuan traveling-nya selama ini tak sesederhana itu. Ada hal lain yang ingin dia tuntaskan.
“… aku menyadari bahwa traveling bukan lagi sekedar sarana untuk melepas stres, atau refreshing. Ada sesuatu yang lebih dari pada itu, yang membuatku ketagihan untuk melakukan kegiatan ini.” Hlm. 89

Dharma, adalah pria yang membuat Lana tertular asiknya berpergian. Dia juga yang membuat Lana merasakan ketergantungan akan hadirnya, dan membuatnya jatuh cinta. Namun akhirnya, dia juga yang membuat Lana kecewa, karena saat Lana sudah memutuskan mencintai pria itu, dia malah pergi tanpa jejak. Dan, sejak saat itu, muncul pertanyaan-pertanyaan dalam diri Lana yang tidak bisa dijawabnya. Namun, di tempat-tempat yang disinggahinya itulah pertanyaannya sedikit demi sedikit mulai mendapatkan pencerahan.
“Lo ada di sini untuk mencari jawaban itu kan? Di sisi mana lo hendak berpijak?” hlm. 46
“Manusia memang hidup ditakdirkan untuk mencari jawaban… yang tak kita ketahui, seringnya jawaban itu sudah tersedia di hadapan kita, kita saja yang terlalu jauh mencarinya, hingga seolah tak tampak.” Hlm. 46

Pada dasarnya, novel ini memang cocok untuk pembaca yang hobi traveling. Karena novel ini memang bercerita tentang perjalanan ke tempat-tempat menarik di beberapa bagian dunia, seperti Bali, Singapura, Korea Selatan, Surabaya, dan Bromo.
Namun, karena ada kisah romance dan beberapa ungkapan inspiratif, novel ini mungkin juga bisa disukai oleh pembaca yang nggak suka sama sekali sama traveling. Atau, mungkin pembaca malah akan tertarik dengan hobi Lana setelah menghabiskan lembar terakhirnya. Siapa tahu, kan?
Get Lost disampaikan dengan sudut pandang orang pertama, yaitu Lana. Dia menceritakan kisah perjalanannya yang tanpa perencanaan dengan ringan bagaikan bercerita dengan temannya. Dan cerdiknya, kisah ini semakin semarak dengan dicampurnya genre traveling dan roman jadi satu. Ini perpaduan rasa yang unik.
Sayangnya, keindahan tempat-tempat yang dikunjungi Lana kurang menarikku untuk benar-benar larut dalam pesonanya. Mungkin karena Lana lebih sering mengungkapkan keindahannya dengan diskripsi ala reporter, melaporkannya secara tersurat bukan tersirat dalam setiap adegannya. Atau lebih sederhananya, keindahan setting tempatnya kurang menyatu dengan cerita.
Lalu, aku sedikit ngeri dengan keberanian Lana menyambut keakraban orang asing dalam hidupnya. Contohnya, saat Paul mengajaknya tinggal satu kamar. Wao…dia mau? Padahal, belum tentu Paul itu baik. Sekarang ini, banyak orang jahat berkedok orang baik dan tulus, ala Paul.
Dalam novel ini ada beberapa cerita yang sebenarnya jika diceritakan secara detail akan menambah manisnya kisah romance-nya. Seperti bagaimana haru-birunya Paul dan Nayna saat kembali bersatu. Kesannya, cerita ini di-skip dan langsung loncat ke saat mereka menikah.
Sebenarnya, loncatan-loncatan antar bab di novel ini memang agak lebar, ya. Apalagi di bab setelah Lana pulang dari Korea Utara dan bab saat dia pulang ke Surabaya.
Aku kira, saat kubalik bab setelah Lana kembali ke Indonesia, aku akan mendapati sekelumit kisah Lana di Jakarta atau mungkin di kantornya. Tapi, tidak seperti itu. Tiba-tiba Lana sudah di stasiun, menunggu kereta yang akan mengantarnya ke Surabaya.
Setahuku, sebuah novel harus punya kisah yang runtun antar bab. Jika memang penulis ingin meloncat langsung ke suatu bagian, penulis harus mempertimbangkan keterkaitan antar babnya juga. Minimal, memberikan penjelasan yang menghubungkan antar kisahnya.
Namun, inti sari dari apa yang ingin disampaikan sukses masuk ke dalam hati. Intinya, novel ini sangat menginspirasi juga. Ehm, dan buat penyuka traveling, apalagi traveler pemula sepertiku, emang harus baca novel ini, karena banyak tips yang berguna banget kayak alamat tempat yang akan disinggahi nggak boleh hilang waktu ke luar negeri. Trus, ternyata nggak gampang cari penginapan di Poppies Line, Bali. Selama ini, aku pikir gampang, kayak nyari losmen di sekitar Malioboro, Yogyakarta.
Kisah yang paling menyentuh di novel ini adalah saat Lana bercerita tentang papanya yang rela tidur di bawah dan memberikan jatah kursinya untuk dia tidur berselonjor kaki. Dan, aku juga suka interaksi Lana dan Robin. Mungkin karena Robin yang karakternya ramai dan beberapa bahasa ala Jawa Timuran yang digunakan Robin membuat suasana jadi sedikit renyah.

Untuk tempat yang menurutku menarik adalah Bromo. Alasannya, karena Bromo adalah tempat yang paling indah yang pernah aku kunjungi. Namun, aku sedikit kecewa karena Bromo tak banyak diceritakan secara detail. Di sini, hanya Pananjakan, yaitu tempat melihat sunrise paling indah di Bromo saja yang dijadikan settingnya.
Padahal, ada savana yang super eksotis, pasir berbisik yang benar-benar menakjubkan. Atau bagaimana serunya bertualang dengan Jeep. Ups, aku lupa. Lana tidak menggunakan Jeep saat menjelajah Bromo, tapi jalan kaki.
Beberapa orang memang ada yang memilih jalan kaki karena harga sewa Jeep di sana agak mahal, dan mulai tahun 2014 ini, harga Jeep dan tiket masuk Bromo makin mencekik untuk para traveler tak banyak duit kayak aku. Huft, tega benar!
Tapi, di sanakan Lana kenal Krisna yang asli orang Bromo. Kenapa Krisna tak mencarikan Jeep harga murah untuk Lana dan membiarkan tamunya ini bersusah payah menerjang padang pasir di malam gelap? Jahatnya!
Spesial untuk endingnya, aku beri jempol dua. Ending seperti ini menurutku ending yang genius. Kenapa? Ada yang bilang padaku, manusia tak pernah punya kisah tamat dalam hidupnya, kecuali dia mati. Dan, tak terkecuali dalam fiksi.
Lana memang menutup kisahnya karena pertanyaannya terjawab. Namun, Lana tidak menamatkannya begitu saja. Dia memberikan gambaran seperti apa pilihan hidupnya setelah itu. Dia seperti menyajikan sebuah dessert yang membuat pembaca minta lebih dan nggak mau berhenti.
So, aku memberikan rating 2,7 dari 5 bintang untuk novel ini.
Tulisan ini diikutkan dalam Indonesian Romance Reading Challange 2014

2 comments:

  1. Hehe, makasih Dian... senyum2 nih baca resensimu. Pertama, senyum karena apa yang ingin kusampaikan di novel ternyata bisa diterima dengan baik olehmu. Kedua, senyum untuk masukan2 darimu tentang hal2 kurangnya di novel ini. Semua masukanmu 'benar'. Maksudku, memang nggak ada masukan yang salah, sih, tapi memang semuanya kujadikan catatan nih untuk penulisan selanjutnya. Tentang penceritaan tempat yang kurang nyatu dengan cerita, runutan antar babnya terlalu loncat, juga detail tempat yang kurang. Makasih banyak :D Sebagai penulis pemula emang harus banyak belajar, hehehe. Jangan kapok baca novelku yang lain ya (semoga akan segera ada lagi, Amin!). Thanks a looot! *hugs*

    ReplyDelete
  2. Weeeiii... Penulisnya komen.
    Hehehehe.... pasti nggak kapok, krn aku suka cara bercerita Mbak Dinoy yang ringan. Tetep semangat berkarya Mbak Dinoy :)

    ReplyDelete

 

Jejak Langkahku Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos