Thursday, February 20, 2014

Cerpen - SOMEDAY BEFORE

PEMENANG LOMBA CERPEN 
BERTEMA #moveon YANG DI
 ADAKAN @dylunaly #QuizDy

Bergerak ke kiri Jalan Pahlawan membuatku menahan nafas. Dan berhenti di Coffee House, sudah menusuk hatiku sampai berdarah-darah. Tapi, mau bagaimana, klienku hari ini minta aku bertemu di tempat itu.
Oh, God! Apa nggak ada tempat lain di kota ini selain Coffee House?
Kuberanjak tergesa menaiki tangga pendek dan langsung menghambur masuk ke dalam salah satu warung kopi paling elit di kota ini.
“Selamat datang!”
Sapaan pelayannya sama sekali tak kuhiraukan. Aku terus bergerak maju mencari sebuah tempat yang paling nyaman untuk menunggu.
Setelah duduk di sebuah sofa dengan meja bulat di tengahnya, kubuka tab-ku untuk mengecek pekerjaan. Aku berusaha memfokuskan hatiku sekaligus otakku untuk tidak jadi kaset rusak yang lagi-lagi memutar masa laluku.
Seorang pelayan datang. Dia menyapaku, mengatakan kalimat-kalimat yang sudah diset diingatannya untuk selalu disampaikan kepada para pengunjung. Ini benar-benar membosankan.
Espresso!” Kuhentikan penjelasannya tentang menu apa yang sedang hit di sini, dan rekomendasi bla..blanya yang membuatku pusing.
Setelah mengatakan, “Baiklah, mohon tunggu sebentar.” Dia langsung cabut. Good!
Aku menghela nafas. Kulempar pasrah punggungku ke sandaran sofa coklat yang kududuki.
Kenapa coba tadi duduk di sini? batinku kesal setengah mati.
Serius, aku nggak sengaja duduk di pojok dekat kaca besar yang menghadap jalan raya ini. Tempat paling favorit aku dan… sudahlah! Yang jelas, sekarang aku semakin frustasi.
Ponselku berbunyi, ternyata hanya pesan singkat dari klienku yang mengabarkan dia akan terlambat tiga puluh menit dari waktu yang dia janjikan. Oke, aku harus jadi orang sabar sekaligus tabah hari ini.
Dan, espresso-ku datang.
Espresso itu nggak cocok sama cewek. Harusnya kamu minum latte atau cappuccino.” Dia menukar cangkirku dengan punyanya.
Aku hanya mengerutkan keningku, bingung.
“Aku suka pahit, dan latte kamu itu terlalu manis.” Kuputar kembali kedua cangkir itu ke posisi semula.
“Nah, itu, cewek nggak baik minum pahit. Bikin dia terkesan kuat kayak cowok!” lagi, cangkir itu berpindah.
Aku menghela nafas dan pasrah. “Kamu sok tahu!”
Dia tertawa. “Aku memang tahu! Buktinya, ya, kamu.”
“Ha?”
“Kamu itu terlihat terlalu kuat, terlalu superior. Jadilah manis sedikit kayak latte ini.”
Aku hanya tersenyum. Kata-katanya itu sama sekali tak kuanggap. Dan, terpaksa aku meneguk latte yang manisnya bikin eerrrrgggg…

Aku menggeleng cepat, mengusir bayangan masa laluku.
Otak oh otak! Bukannya kamu sudah aku perintahkan untuk membuang rekaman itu? Kenapa tetap saja kamu simpan? Lama-lama kamu yang akan kubuang! Gerutuku kesal sambil menyambar gelas espresso-ku.
Rasa pahit yang menjalari lidahku membuatku rileks untuk sesaat.
“Bisa nggak sih kamu nggak ngatur aku?!” teriakku tepat di depan mukanya.
“Aku nggak ngatur kamu. Aku hanya ingin kamu berubah.” Dia masih tampak sabar.
“Oh, please! Kamu bilang, kamu nggak ngatur aku? Yang benar aja!” Aku duduk frustasi di depannya.
“Aku hanya ngingetin kamu tentang kodrat kamu sebagai wanita. Itu saja, kok! Sampai kapan kamu mau kerja gila-gilaan seperti ini?”
“Kerja gila-gilaan?”
“Iya! Kamu ingat, kan kita akan menikah enam bulan lagi? Dan setelah enam bulan itu, kamu punya tanggung jawab ngurus rumah tangga kita, dan kalau kita punya anak, kamu harus ngurus dia. Aku nggak mau dia sampai terlantar.”
“Jadi, itu alasan kamu nyuruh aku resign dari kerjaan aku?”
“Kamu, kan bisa nyari pekerjaan yang nggak ngawur. Apa aku salah?” suaranya mulai kesal. Tapi, dia masih tampak menekan emosinya.
“Ngawur? Kamu bilang pekerjaanku ngawur?” Emosiku makin meledak.
Itulah beda kami. Dia lebih bisa mengendalikan diri, dan aku selalu tak terkendali.
“Kamu lulusan IT. Dan sekarang kamu jadi manager artis. Waktu kamu nonstop sama dia. Bukannya itu ngawur?”
Aku mengeram. “Lalu apa yang kamu mau?”
“Pilih pernikahan kita, atau pekerjaan kamu!” katanya sangat tenang.
Aku diam. Kupandang dia dengan tatapan tak percaya.
“Aku pilih pekerjaan aku!” jawabku ketus. Meski hatiku super sakit, tapi sebisa mungkin aku ingin terlihat baik-baik saja di depannya.
Huffff…entah berapa kali aku membuang nafas sekeras itu. Tapi, kenangan itu memang menyakitkan. Kenangan yang membuatku menyesal tujuh turunan karena mencampakkan dia hanya karena pekerjaan.
Harusnya, aku tahu diri, harusnya aku menyerah dan menerima usulannya. Menjadi seorang tenaga IT bukan hal yang buruk, kan? Meski aku tahu, pekerjaanku sekarang lebih menjanjikan. Apalagi artis yang aku pegang adalah artis papan atas.
Kulirik jam tanganku, ini sudah hampir tiga puluh menit. Tapi, klienku belum datang juga. Kalau sampai tiga puluh menit lagi dia belum datang, nggak sudi aku suruh nunggu lagi. Dia pikir aku punya banyak waktu untuk ngopi sendirian kayak jomblo patah hati yang nggak bisa move on ini. Eh, bukannya itu memang aku banget? Sial…sial…siaaaal! teriakku dalam hati.
Kulambaikan tangaku pada seorang pelayan. Kupesan segelas latte seperti yang pernah dia sarankan padaku. Mungkin, aku harus merubah diriku. Mengganti espresso menjadi cappuccino atau latte. Mengatur hidupku, tak lagi menjadikan pekerjaan nomor satu. Dan semua tetek bengek yang pernah dia katakan padaku, dulu.
Tapi, tetap saja aku sudah terlambat. Mau berubah sedrastis apapun, dia sudah pergi. Dan, aku tak yakin dia akan kembali. Semakin tak yakin lagi, dia mau menerimaku lagi.
Kupandang lampu jalan yang mulai dinyalakan. Senja memang indah meski tertutup hiruk pikuk kota. Tapi, senja selalu bisa mengantarkan asa, menuliskan rindu. Yah, kamu bisa menitipkan salammu untukku pada senja kapan saja.
Kali ini kenangan membuatku tersenyum. Aku masih menghafal luar kepala kalimatnya sebelum dia berangkat ke Belanda untuk seminggu menjalankan tugas kantornya, tiga tahun yang lalu.
Apakah aku bisa menitipkan salam dan aroma latte kesukaannya ini pada senja? Aku hanya ingin senja menyampaikan, ternyata aku tak benar-benar bisa hidup baik-baik saja tanpanya. 
Aku sangat merindukanmu. Aku masih sangat…sangat...sangat mencintaimu, senjaku.
Kupejamkan mataku. Deru dadaku mengoyak pertahananku. Menciptakan segaris jejak air mata di pipiku.
“Permisi.”
Sapaan sopan seseorang membuatku terkejut.
Kuhapus air mataku dengan cepat. “Ya?” secepat itu pula gambaran perih di wajahku lenyap.
Untuk sementara aku akan terbebas dari kenangan itu. Karena bekerja selalu membuatku menjadi bagian lain dari diriku. Kuat dan terkesan superior. Ya, itulah aku. Persis seperti yang dia katakan waktu itu.

11 comments:

  1. keren banget cerpennya. mengalir, emosinya juga terasa. keren deh. keep writing ya mbak

    ReplyDelete
  2. Hai, Mas Arman. Hihihi...terima kasih sudah baca cerpenku. Terima kasih juga pujiannya :D

    ReplyDelete
  3. bagus nih cerpennya, dan selamat yaa kamu menang quiz nya mbak Dy

    ReplyDelete
  4. Halo Mbak Ina dan Mbak Rindang.
    Terima makasih banyak... hehehe... nggak nyangka menang :D

    ReplyDelete
  5. Iki cerpen cukup suwi ya. aku sampek lali critane :v

    ReplyDelete
  6. Mb Reny : Sing punya hajat lg ngumumne ndek bengi. :D

    ReplyDelete
  7. iuuhh2........ jempolan dah...:D

    ReplyDelete
  8. Ahahahaha... terima kasih, Dek Kiki :D

    ReplyDelete

 

Jejak Langkahku Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos