Setelah trip dari Pacitan yang amazing, beberapa hari kemudian kita
lanjut ke sebuah tempat bersejarah yang masih satu Kabupaten dengan tempat aku
tinggal. Sayangnya, meskipun tak terlalu jauh, hanya perlu waktu satu setengah
jam berkendara dengan motor/kendaraan pribadi, kita baru
pertama mengunjunginya. Makanya, saat ketemu Juru Kuncinya kita disindir.
Kalau nggak salah, beliau
bilang, “Tempat jauh saja didatangi, tempat yang dekat dan kota sendiri kok
nggak pernah ditengok.” Kalau nggak salah begitu. Padahal, kita nggak cerita
apa-apa dengan beliau. Hem… Darimana tahunya kalau kita memang suka traveling? Tapi, kebetulan memang benar. :D
Nama tempat itu Srigati,
atau biasa juga disebut Alas Ketonggo. Tempat ini berada di Desa Babagan,
Paron, Kabupaten Ngawi.
Jalan menuju ke sini tak
terlalu mulus. Kita harus melewati jalan tanah yang berdebu. Namun, saat memasuki
kawasan Alas Ketonggo, kita akan disambut jalanan berpaving. Lalu, sebuah gapura
megah bertuliskan “Palereman Alas Ketonggo Srigati” akan tampak di depan mata
kita.
Sebelum sampai di gapura
tersebut, sebuah portal menghadang. Kita harus membayar retribusi sebesar, em… kalau
nggak salah seribu rupiah per orang.
Setelah itu, kita akan
bertemu bangunan yang disebut dengan Pesanggrahan Agung Srigati. Namun, setelah
parkir motor, kita memilih menuju Kali Tempuk, yaitu salah satu tempat yang
dikramatkan di sana. Tempat itu disebut Kali Tempuk karena disanalah tempat pertemuan dua arus sungai.
Setelah menapaki tangga
menuju sungai, ternyata di sana sudah ada beberapa orang yang berendam tepat di
pertemuan dua ujung sungai itu.
Menurut cerita Mbah
Marji, sang juru kunci, Kali Tempuk ini tempat untuk mandi besar (aku menyebutnya begitu) sebelum Parbu
Brawijaya V melepas semua busana kebesarannya sebagai seorang raja.
Setelah dari Kali Tempuk,
aku mampir di area yang memiliki dua bangunan yang hampir berhadapan. Aku
kurang tahu nama pasanggrahan apa, karena di sana tidak ada tulisannya.
Bangunan itu diberi tirai
berwarna kuning, dan di dalamnya ada semacam ukiran yang dililit kain bermotif
kotak-kotak hitam putih dan ada bunga yang ditabur di bawahnya. Em, mungkin ini
yang disebut Pasanggrahan Soekarno.
Di depan bangunan itu ada
bangunan lagi bercat putih. Di sana ada meja bertumpuk tiga yang di atasnya ada
dua kendi. Di teras bangunan itu ada beberapa sangkar burung.
Setelah dari sana, kita
menuju Pasanggrahan Agung Srigati. Memasuki pelatarannya, sebuah lukisan
menarikku, lukisan Nyi Roro Kidul yang sangat cantik. Lalu, ada dua lukisan
lagi yang di tempatkan berbeda dengan lukisan Nyi Roro Kidul.
Nah, ini yang bikin aku
menyesal nggak bertanya makna lukisan itu. Kalau dari pengamatanku, lukisan itu
menggambarkan peperangan untuk menyelamatkan bumi, maybe.
Seorang bapak yang tadi
sempat aku temui di luar pelataran Pesanggrahan – yang menatap kita dengan
tajam – menanyai maksud kedatangan kita. Inilah Mbah Marji, yang ternyata
orangnya tak semenyeramkan saat pertama aku bertemu dengan beliau.
Mbah Marji orangnya
sangat ramah. Beliau memberi nasihat dan bercerita tentang tempat ini, tentang
sejarah Prabu Brawijaya V. Lalu – mungkin – Mbah Marji tahu kita tipe orang
yang suka berpetualang di tempat baru, beliau memberitahu kita salah satu
tempat yang menarik. Tempat itu bernama Umbul Jambe.
Beliau bercerita singkat
tentang tempat tersebut, dan menyuruh kita melihat gambar kalender yang berada
di bawah lukisan Nyi Roro Kidul. Umbul
Jambe tampak menarik untuk dikunjungi sepertinya.
Oh iya, kita juga sempat
bertanya tentang beberapa hal mengenai Srigati pada beliau. Dengan senang hati
Mbah Marji menjawabnya. Ternyata, beliau memang ingin orang bertanya tentang
apapun padanya, agar tak ada salah paham dengan tempat ini.
Salah satu pertanyaan
yang aku utarakan adalah, apakah Pasanggrahan Agung Srigati tak boleh dimasuki?
Karena tempat itu tertutup rapat dengan kain putih.
Beliau bilang tidak, tapi
kalau kami mau lihat boleh. Sayangnya, ada dua tamu yang bergabung dengan kita.
Niat untuk melihat tanah gundukan di dalam Pasanggrahan itu terlupakan.
Percakapan kita cukup
asyik, beberapa kali kami tertawa lepas karena cerita beliau. Dan saat aku
memandangi lukisan Nyi Roro Kidul, beliau bilang, “Cantik, ya?” Iya memang
cantik sekali.
Pertemuan kami akhiri.
Sebelum pergi, kami bertanya tentang Umbul Jambe. Apakah medannya bisa kami
lalu? Mbah Marji menjawab bisa.
Sebelum menuju ke sana,
kita mampir ke warung di dekat gapura. Es teh di sana ueenak, gorengannya juga.
Di sana kita tanya gimana medan menuju Umbul Jambe pada beberapa orang, agar
lebih yakin saja sebenarnya.
Orang-orang di sana
menjawab, kita nggak akan bisa melewatinya. Jelas, kami jadi pesimis. Tapi, karena kita ini tipe orang nekatan, kita
memilih untuk ke sana. Kalau nggak bisa, nanti kita balik lagi.
Dengan ketidakyakinan,
kami berangkat dengan membawa 1 Vario Tekno berbodi bongsor, 1 Honda 125, dan 1
motor Beat kita membelah jalanan ala hutan.
Perjalanan hampir satu
jam, dan kita berhasil melewati medan yang awalnya membuat kita ciut untuk
menerjangnya. Gara-gara orang diwarung itu. Tapi, ada bagusnya, kan mereka
bilang begitu. Biar kita nggak sombong.
Sebuah jembatan gantung
merah putih menyambut kita. Dan itulah yang disebut Umbul Jambe. Di sini ada
sebuah sumur yang digunakan untuk mandi sebagai ritual. Dan juga ada bangunan
pesangrahan yang dulu tempat bertemunya Prabu Brawijaya V dengan anaknya, Raden
Patah. Bangunan ini ditutup dengan bendera merah putih. Dan tentu saja ada
punden yang di bawahnya ada bunga dan dupa.
Di sekitar punden, ada
sungai dengan batu-batu besar. Sayang, airnya tidak jernih. Tapi, tetap asik
untuk mengambil beberapa foto.
Setelah dari Umbul Jambe,
kita memilih pulang lewat jalan lain sesuai arahan yang ditunjukkan penduduk
sekitar sana.
Menurutku, Srigati kurang
terawat. Namun, entah kenapa, tempat itu menyajikan kedamaian yang membuat
kangen. Kapan-kapan ingin kesana lagi, sekedar menikmati kesunyiannya.
Dan terakhir, inilah
foto-foto kami saat menjelajahi Tempat Mistik yang pernah di kunjungi Tukul
Arwana beberapa waktu yang lalu.
No comments:
Post a Comment