Tulisan ini diikutsertakan
Dalam Giveaway Novel NEVER LETGO
Karya @NinnaKrisna
Em, aku bertemu cinta
pertamaku setiap pagi dari ujung ke ujung jendela kelasku saat masih SMA.
Istimewanya, aku jatuh cinta sebelum aku melihat wajahnya, tak tahu namanya,
bahkan aku tak tahu apapun tentang dia. Hanya satu yang aku tahu, sinar matanya.
***
“Sean, menurutmu cinta
pertama itu seperti apa?”
Aku tersenyum menanggapi
pertanyaan Gina. Tapi, aku tak langsung menjawabnya. Kuteruskan acara meneguk
kopi sampai aku puas, barulah kutatap mata teman-temanku yang menunggu jawabanku.
“Cinta pertama?” Kugigit
bibir bawahku. Bola mataku berputar, mengikuti otakku yang mencoba mencari
jawaban. “Cinta yang nggak bisa dilupakan, maybe.”
Aku tersenyum.
“Meskipun cinta itu tidak
terbalaskan?” Sherin menanggapi.
Aku mengangguk.
“Meskipun dia udah
nyakitin kamu?” Gina tampak semakin tertarik dengan topik ini.
Kurebahkan punggung
pegalku karena terus bekerja seharian–di sandaran sofa yang nyaman. Lalu, aku
mengangguk lagi. “Meskipun sekarang kita udah nggak cinta lagi sama dia. Tapi,
kita tetap mengingat kalau kita pernah benar-benar mencintai seseorang untuk
pertama kali, itu namanya cinta pertama.”
Mereka berdua tampak mengangguk.
“Kenapa?” tanyaku
kemudian.
Sherin tersenyum, aku
jadi sedikit curiga. “Kamu masih ingat Daniel?”
Keningku berkerut
mendengar nama itu.
“Dia cinta pertama kamu,
kan, Sean?” lanjutnya.
Kuangkat bahuku. “Iya.
Ingat!” Suaraku terdengar sedikit kesal.
Gina mengetuk-ketukan
jari telunjuknya ke bibir, “Jadi ingat dulu kamu sering datang pagi-pagi
sekedar mantengin jendela kelas.” Gina terkikir sendiri. “Meskipun penasaran
itu mata siapa, kamu tak pernah berani untuk mencari tahu siapa pemiliknya.
Payah!”
Aku tersenyum lebar. Iya,
aku juga ingat saat itu. Kebiasaan nggak jelasku setiap pagi. Sekedar untuk
bertemu sepasang mata yang membuatku jatuh cinta.
“Tapi, syukurlah, Tuhan
memberikan jalan agar kalian akhirnya bertemu.” Sherin ikut tertawa. Dia sedang
sibuk menyulut sebatang rokok setelah berhasil menyelesaikan tawanya.
“Daniel, cinta pertama
yang membuatku langsung patah hati.” Senyumku semakin melebar. Dan, bayangan
mata Daniel langsung berkelebat membangunkan kenanganku.
***
“Sean, kan?”
Seorang cowok berdiri
persis di depanku, menghadangku yang bersiap menyusul Sherin dan Gina yang
lebih dulu ke perpustakaan.
Aku mengangguk. Keningku
berkerut karena merasa aneh ada seorang cowok yang tak kutahu namanya, hanya
sekedar tahu dia anak kelas sebelah–tiba-tiba tersenyum seperti itu dan
bertanya namaku. “Kenapa?”
“Aku Jun, Arjuna. Anak
IPA 1.” Jawabnya.
“Oh…?” Wajahku tambah
bingung.
“Em, boleh pinjam buku
Biologi, nggak?”
Aku menghela napas, dan
hanya mengangguk sambil kembali ke kelas, mengambil buku Biologi untuknya. Dan,
segera kuserahkan pada Jun agar aku segera bisa pergi darinya.
“Terima kasih,” pamitnya
sambil mengacungkan buku yang dipinjamkannya.
Tapi, saat bel sudah
berbunyi, dan sebentar lagi pelajaran Biologi dimulai, bukuku belum juga
dikembalikan. Menyebalkan! Akhirnya, aku putuskan untuk mengambilnya saja.
Aku celingukan di depan
pintu kelasnya, mencari sosok Jun di antara anak-anak kelas XII IPA 1.
“Hai!”
Suara itu langsung
membuatku memutar tubuh. Ternyata Jun tepat ada di belakangku.
“Mau ambil ini?” Dia
mengacungkan bukuku.
“Iya.”
“Maaf ya belum sempat
dikembalikan.”
Kuterima buku itu dan
sekedar mengangguk saja. “Aku balik ke kelas.” Pamitku.
Dan saat mataku mengarah
ke samping Jun, aku menangkap sinar mata yang sangat kukenali. Mata itu juga
menatapku lekat. Tak mau kalah untuk melepaskan bayanganku sedetik saja. Yah,
aku menemukan pemilik mata itu, sang cinta pertamaku.
***
“Daniel Pratama. Anak XII
IPA 2. Temannya Jun.” Kuhela napasku berat. “Jantungku mau copot saat mataku
bertemu matanya langsung nggak terhalang kaca jendela seperti itu.” Pandanganku
menatap kosong meskipun ceritaku terus mengalir lancar.
“Daniel Pratama itu
bukannya pacar Patricia Adinda si Ketua OSIS yang baru aja kepilih itu, kan,
Gin?” Sherin bertanya pada Gina yang langsung mengangguk. “Sial bener, sih
kamu. Dapet cinta pertama telat banget. Pacar orang pula.” Sherin menggeleng
lemah dan menatapku iba.
“Jangan macam-macam,
Sean. Iklasin aja. Ingat karma!”
“Tenang aja, aku waras
kali, Gin. Aku nggak bakal ngerebut pacar orang!” Mataku menjauhi tatapan dua
temanku. Aku lebih menikmati pemandangan anak-anak yang hilir mudik untuk
pulang.
Sedangkan kami, kami
masih duduk di depan kelas sambil mengobrol. Dan, sialnya aku menangkap
bayangan Daniel yang sedang berjalan berdua dengan si ketua OSIS yang cantik, yang
nggak ada apa-apanya sama aku.
“Yah, malah muncul!”
keluh Gina. “Bikin orang patah hati aja!”
Tak ada tanggapan yang
keluar dari mulutku. Dan, tak ada lanjutan komentar dari kedua temanku. Kami
sama-sama diam dan memandang satu arah, ke arah Daniel dan Dinda.
Cewek itu tampak asik
bercelotek, sedangkan Daniel hanya diam mendengarkan.
“Kalian nggak pulang?”
Suara Jun membuat kami
langsung berubah fokus.
“Bentar lagi,” jawab Gina
kesal.
“Sean mau aku antar
pulang?” tanya Jun.
Kedua temanku langsung
menatap Jun tajam. Membuat cowok ini tersenyum kecut.
“Eh, iya Sean. Aku nggak
bisa nganterin kamu. Aku harus ketemu Bima.” Gina tersenyum, merasa bersalah.
“Dan aku…” Sherin
menggaruk kepalanya yang sebenarnya pasti nggak gatal. “Aku nggak bawa motor.
Aku tadi nebeng adik kelas. Ini aku nunggu sms dia kalau dia udah siap pulang.”
Aku mengangguk paham. “Aku
bisa naik bus.”
“Aku anterin aja.” Jun
masih keukeuh.
Mereka berdua menyenggol
lenganku, memberi kode untuk mengiyakan.
“Nggak ngrepotin?” tanyaku
pada Jun.
“Nggaklah. Kan, rumah
kita searah. Masak kamu nggak tahu kalau aku sering lewat depan rumahmu?”
Aku hanya tersenyum.
Sebenarnya, aku memang
bukan tipe orang yang mau memperhatikan orang-orang yang tak di kenal. Jadi,
jangan heran meskipun tiap hari kamu muncul di depan ujung hidungku, kalau kamu
nggak aku kenal, aku nggak akan peduli sama kamu.
“Gimana?” Jun masih
menunggu jawabanku.
“Kalau nggak ngerepotin,
boleh deh.” Aku ingat, hari ini panas banget dan perutku sudah lapar. Kalau
harus nunggu bus dan berdesak-desakan, rasanya benar-benar menyiksa. Jadi,
kenapa tidak.
Sayangnya, bukannya
langsung pulang, si Jun malah ngajakin makan dulu. Fine-fine aja, sih. Lumayan malah, bisa dapat makan gratis. Tapi,
itu kalau nggak ada si Daniel dan si Dinda.
Erg, kenapa aku sekarang sensi
melihat pasangan ini, sih? Dulu kalau melihat mereka dari jauh aku nggak ada
masalah. Apa sekarang aku sedang cemburu?
“Din, kenalin ini Sean.”
Jun memperkenalkan kami meskipun aku belum duduk di kursi kayu panjang tepat di
depan Daniel yang menunggu baksonya datang.
“Dinda.” Dia mengulurkan
tangannya padaku.
“Sean,” balasku.
Aku duduk dan bakso kami
datang.
Dinda terus saja
bercerita tentang apapun–aku nggak terlalu tertarik, jadi nggak memperhatikan–meskipun
dia sibuk makan. Daniel tampak sekedar mendengakan. Sedangkan Jun, dia sesekali
tertawa dan menanggapi cerita Dinda.
“Iya, kan sayang?”
Kuangkat wajahku saat
mendengar sapaan mesra itu. Mataku langsung terasa pedas seperti kemasukan kuah
bakso saat melihat tangan Dinda meremas lengan Daniel.
Daniel hanya mengangguk.
Aku sedikit sangsi Daniel tahu apa yang sedang dia ‘iya’kan.
Pulangnya, saat
berboncengan dengan Jun, aku mengbrol dengannya.
“Daniel itu, kenapa
kelihatannya cuek banget sama Dinda, ya?”
Tawa Jun membuat keningku
berkerut. “Kelihatan, ya?”
“Kelihatan gimana?”
“Kelihatan kalau Daniel
itu nggak cinta sama Dinda.” Tawanya meluncur lagi.
“Lho?”
“Dinda itu anaknya
temannya mama Daniel. Mereka sejak kecil sudah dijodohkan.”
Perutku mulas mendengar
kata ‘dijodohkan’
“Jadi, bisa dibilang
hubungan mereka berawal karena paksaan. Dinda sih nggak keberatan. Tapi, Daniel
sebenarnya keberatan. Tapi, dasar Daniel itu tipe nggak mau ribet dan nggak mau
bertengkar sama mamanya, akhirnya dia jalani saja hubungan itu. Meskipun, dia
nggak janji juga bakalan nerusin hubungan ini sampai ke pernikahan.”
Tanpa sadar aku menghela
napas lega. Apakah aku masih punya
harapan?
***
“Harapan?” Lagi-lagi aku
tertawa. “Harapan semu!” jawabku sinis. “Aku nggak penah mau berharap lagi,
Gin, setelah itu. Setelah Daniel mematahkan harapanku.” Kuteguk lagi kopiku
sampai tandas. Lalu, tanganku terangkat, memanggil pelayan untuk dibawakan
segelas kopi lagi, kopi ketigaku.
“Dia berkata, dia juga
mencintaiku. Tapi, dia lebih memilih Jun dari pada aku.” Senyumku terasa getir.
“Dia bilang, akan lebih baik jika kita tidak bersama. Dia juga bilang, cinta
tak harus memiliki.” Tawaku mengalir begitu saja. Tapi, tatapan mata dua teman
di depanku persis sama seperti saat melihatku menangis tersedu karena patah
hati, saat itu. “Cinta tak harus memiliki sebenarnya cuma kata-kata menghibur
untuk mereka yang patah hati.”
***
“Ya, aku mencintaimu.”
Daniel mengucapkannya sangat tegas. Membuat jantungku berdetak dengan kencang. “Tapi,
Jun juga mencintaimu. Membuatku tak bisa bersamamu.”
Dan seketika, jantungku
berhenti berdetak, lalu terasa nyeri.
“Ini bukan masalah Dinda.
Tapi, ini masalah persahabatan. Jadi, maafkan aku, Sean. Aku nggak bisa
meneruskan hubungan sembunyi-sembunyi ini. Aku capek.” Dia menghela napas, dan
terpejam, memutus tatapan kita yang semakin menyakitkan.
“Sebentar lagi ujian. Aku
memutuskan mengambil Hukum di UI. Dan aku dengar, kamu akan ke Yogya. Ya, kan?”
Aku sama sekali tak
meresponnya.
“Jun memutuskan mengambil
Teknik di UGM, kampus yang sama seperti yang kamu tuju.” Dia melihatku lagi. “Dia
benar-benar mencintaimu. Aku harap kamu bisa bersamanya.”
“Aku nggak akan pernah
bersamanya, Dan. Aku bukan kamu yang bisa memaksakan diri sendiri untuk
menerima seseorang yang tidak kamu cintai dalam hidupmu.” Jawabku ketus. “Kalau
aku nggak bisa bersamamu, nggak ada masalah. Aku akan terima itu. Karena sejak
awal aku sudah tahu, kedatanganku sudah terlalu terlambat.”
“Cinta nggak harus memiliki,
Sean.”
“Cinta nggak harus
memiliki.” Aku tersenyum masam. “Itu hanya kata-kata penghiburmu, kan? Jangan
bodohi aku, Dan!”
“Iya, mungkin.” Dia
menghela napas. “Aku harap, kenyataan aku mencintaimu juga, sudah cukup
untukmu.” Dia beranjak. “Aku harus pergi. Dinda menungguku.”
Daniel tak menunggu
jawabanku. Dia langsung naik motornya dan berlalu.
***
“Tapi, sekarang kamu
bahagia, kan bersama Jun?” Sherin menyulut rokok ketiganya. “Buktinya, kalian
udah punya dua anak. Aku aja masih dalam proses.” Sherin menjentikkan abu
rokoknya ke dalam asbak.
“Kalau mau berhasil,
berhenti ngerokok, deh, Rin!” Gina mensedekap dan menatap Sherin serius.
“Rokok itu udah jadi
separuh jiwaku, Gin. Susah!”
“Eh, ngomong-ngomong kamu
sering dong ketemu Daniel?” Fokus Gina sudah kembali padaku.
“Jarang kok. Daniel nggak pernah mau ke rumah
kami. Kita ketemu kalau aku nemenin Jun pas ada acara.” Kuangkat bahuku acuh.
“Jangan-jangan dia masih
cinta kamu, Sean. Sampai dia belum nikah-nikah juga.” Tebak Sherin.
“Bodo’ amat! Yang jelas,
aku udah nggak punya perasaan apapun sama dia.”
“Kamu beneran sudah jatuh
cinta sama Jun?” bisik Gina.
Aku mengangguk ringan. “Mencintai
orang yang mencintai kita itu lebih mudah. Serius!”
Dua temanku memandangku
takjub. Lalu mengangguk, menyetujui.
Cinta pertama biasanya
memang bukan cinta yang terakhir. Dia hanya kebetulan hadir untuk yang pertama.
Tapi, belum tentu cinta yang paling kuat.
Cinta pertamaku memang
Daniel. Tapi, cinta sejatiku ternyata Jun, Arjuna Ardianto. Dan, aku akhirnya
menemukan akhir pencarian pada seseorang yang dulu aku kira tak bisa kucintai.[]
Lumayan buat pembelajaran. Makasih mbak :)
ReplyDelete