Friday, May 23, 2014

[Blog Tour Interlude #4] Resensi – INTERLUDE “Dua titik berbeda, dalam satu cinta”



Penulis : Windry Ramadhina
Penerbit : Gagasmedia
Terbit : Mei 2014
Tebal : viii + 375 hlm
ISBN : 979 – 780 – 722 – 3
Harga : Rp. 58.000

Dalam hidup ini, banyak cara untuk menemukan kebahagiaan. Mungkin, salah satunya dengan merasakan kepahitan hidup yang paling pahit lebih dulu. Dan itulah yang harus Kai dan Hanna lalui sebelum waktu membawa mereka pada satu masa yang mempertemukannya.
Kai dan Hanna adalah orang yang berbeda. Bagi Kai, tak ada tempat di dunia ini untuknya. Sedangkan bagi Hanna, dunia ini terlalu menakutkan. Kai laki-laki berengsek dan senang mempermainkan perempuan, sedangkan Hanna terlalu takut pada laki-laki. Namun, keduanya sama-sama mempunyai beban karena masa lalu.
“Masa lalu seperti belenggu, memang. Mengikat. Terlalu mengikat, kadang. Seperti menjadi bagian baru di diri kita. Bagian baru yang membebani.” – Lorraine – Hlm. 254

Mereka bertemu di atas atap gedung apartemen Hanna. Namun, sebenarnya itu bukan pertemuan pertama. Hanna sudah menyadari keberadaan Kai saat mendengarkan kembali alat rekamnya – yang selalu merekam apapun yang terjadi di sekitarnya – di tempat terapisnya.
Saat itu Lorraine, nama terapis Hanna, menangkap petikan gitar dalam alat perekam itu, dan dia menyadarkan Hanna kalau petikan gitar itu begitu bagus. Hanna ingat, suara itu dia temukan di Kedai Kopilosofi, tempat Hanna biasa memesan Latte dengan gula ekstra.
Setelah itu, waktu mempertemukannya lagi, masih dengan petikan gitar yang sama namun di tempat berbeda, di atas atap gedung apartemen Hanna. Kai mulai penasaran, dan dia semakin penasaran saat melihat Hanna yang terlalu terkejut saat barista Kopilosofi mengapit lengannya, sekedar menghentikannya, dan mengembalikan uang kembaliannya. Tapi, Hanna bereaksi berlebihan, membuat sedikit kekacauan di Kopilosofi.
Gitta, teman band dan mantan kekasih Kai, memperingatkan cowok ini agar tidak mendekati Hanna.  Bukan karena Gitta cemburu. Tidak sama sekali. Ini karena Gitta tahu apa yang membuat gadis bernama Hanna itu terlihat selalu ketakutan, terutama pada laki-laki.
Sayang, Kai bukan tipe penurut. Saat mereka kembali bertemu lagi, waktu menciptakan sebuah garis yang menghubungkan mereka. Sebuah insiden membuat Hanna menulis nama Kai dalam ingatannya. Kemudian, Kai yang menganggap Hanna sama seperti gadis pada umumnyagadis yang sama seperti gadis-gadis yang dikencaninyamulai bertindak di luar batas. Dia mencium Hanna, mengingatkan Hanna pada kejadian satu tahun lalu, kejadian yang membuatnya mengalami mimpi buruk setiap malam, kejadian yang menghancurkan hidupnya.
“…Mungkin ini sama bodohnya, tapi aku berharap kau mau memberiku kesempatan kedua. Aku ingin mengulangi segalanya dari awal dengan benar, tanpa prasangka apa-apa, tanpa permainan. Aku tidak selamanya berengsek, Hanna. Aku ingin kau tahu itu.” – Kai – Hlm. 131

Saat Kai tahu bagaimana masa lalu Hanna, dia merasa benar-benar berengsek. Namun apakah kata maafnya bisa membuat Hanna menerimanya kembali? Dan apa yang sebenarnya terjadi pada Hanna? Lalu, apa yang membuat Kai merasa tak punya tempat di dunia ini?
Interlude, hadir dengan kisah cinta yang sendu dan penuh luka, namun begitu syahdu dengan balutan musik Jazz yang dimainkan Jun, Kai, dan Gitta.
Novel terbaru Windry Ramadhina, novel keenamnya, novel yang mambuatku langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Dan, novel yang memberiku pengalaman pertama untuk menjadi host blog tour. Yeah, ini menyenangkan, benar-benar menyenangkan. Terima kasih Gagasmedia, mempercayaiku untuk ikut ambil andil dalam event ini. Semoga lain kali, Gagasmedia mempercayaiku lagi dan lagi.
Oke, bicara tentang Interlude, kita akan dipertemukan dengan musik Jazz yang tak terlalu kukenal. Tapi, cukup enak juga didengarkan. Lalu, kita akan bertemu masa lalu-masa lalu yang tidak mengenakkan, dan kisah cinta yang saling mengobati.
Kai, cowok bad boy yang mempesona. Piawai bermain gitar, bisa juga menciptakan lagu, dan cukup mampu mempesona para cewek dengan suaranya, juga kharismanya di atas panggung. Kai adalah gitaris Second Day Charm. Namun, dia tak benar-benar serius pada musik, lebih tepatnya tak pernah serius pada apapun.
Sketsa by Windry Ramadhina (Sumber klik disini)
“Jadi, untuk apa aku peduli? Aku tidak diinginkan. Di dunia ini, tidak ada tempat untukku. Dan semua jadi tidak penting. Keluarga, musik, kuliah. Tidak penting. Perempuan juga. Aku tidak bisa serius dengan perempuan. Aku tidak percaya pada hubungan.” – Kai – Hlm. 176

Hanna, cewek yang tak pernah berani menatap dunia. Begitu takut pada laki-laki dan selalu terlihat gugup. Dia ingin menjadi jurnalis, sama seperti papanya. Namun, masa lalu membuatnya tak lagi ingin mengharapkan apapun di hidupnya.
“Salah. Aku memang kotor. Aku…. Barang rusak… Selain laut, siapa yang mau menerimaku begini?” – Hanna – Hlm. 194
“Kalau begitu, biar aku jadi lautmu. Aku akan membantumu meluruskan semua cela itu.” – Kai – Hlm. 195

Gitta, Vocalist Second Day Charm. Dia tampak sinis, sampai-sampai lagu-lagu yang diciptakannyapun terasa sama dengan karakternya. Gitta adalah tipe cewek kuat yang tak bisa ditindas oleh siapapun. Namun, itu dulu, sebelum dia kembali pada mantan kekasihnya, Ian, yang sangat emosianal dan senang bertindak kasar pada Gitta.
Sketsa by Windry Ramadhina (Sumber klik disini)
Jun, cowok yang bekerja di bidang akuntansi. Hobi menggulung kemejanya, berkaca mata minus, cool, dan dia adalah basis Second Day Charm, sekaligus leader band ini. Em, kayaknya dia saingan berat Kai. Aku jadi pingin bikin polling, kira-kira Kai dan Jun lebih banyak mana fans-nya? Karena aku sendiri bingung, mana yang lebih aku suka. Aduh!
Interlude diceritakan dengan alur linier, di mana Hanna dan Kai punya porsi cerita masing-masing. Namun, penulis berhasil menyeimbangkan keduanya, sehingga dua-duanya tetap terasa sebagai subjek cerita, meskipun penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga.
“Lalu, apa yang membuatmu datang?”
“Katamu, ‘Tidak selamanya.’”
“Maksudmu?”
“Tidak selamanya kau… berengsek. Itu katamu, kan?” – Kai dan Hanna – Hlm. 147

Aku suka dengan gaya bahasanya. Pilihan disksinya juga indah namun tidak berlebihan. Penggambaran setting, suasana, sampai kejadian-kejadianpun berhasil diceritakan dengan detail dan tak terasa berat. Yang paling penting, penyampaian rasa yang dirasakan tokoh-tokohnya berhasil di transfer kepada pembaca.
“Waktu tidak berputar ulang. Apa yang sudah hilang, tidak akan kembali. Dan aku sudah hilang, apa kau tahu? Selamanya, aku akan seperti ini. Hidup dalam mimpi buruk. Aku tidak bisa memaksa tubuhku lupa. Itu yang tidak kau mengerti.” – Hanna – Hlm. 293

Sebenarnya, dalam Interlude tidak hanya ada kisah Kai dan Hanna. Ada juga kisah Jun dan Gitta. Jika Kai dan Hanna memberikan kita kisah cinta yang syahdu, Jun dan Gitta punya kisah yang cukup manis.
“Aku membicarakan kau dan Jun, omomg-omong, bosan melihat kalian berlagak tidak saling tertarik. Apa lagi, sih, yang kalian tunggu?” – Kai – Hlm. 188

Cover novel ini bernilai 9,9 dari 10. Aku sangat suka dengan desainnya, pilihan warnanya, sampai pilihan font-nya. Sempurna. Selamat Levina Lesmana, anda berhasil membuat pecinta buku tak bisa menahan diri untuk segera mengadopsi buku ini.
Ngomong-ngomong tentang ending-nya, ah tunggu dulu, kita ngomongin bab terakhir sebelum epilog. Sepertinya aku tahu acara apa yang dihadiri Second Day Charm. Presenter botak, dan pesulap. Yap, pasti itu!
Kembali ke ending-nya, jelas aku suka sekali ending-nya. Tipe ending yang bikin pembaca menghela nafas lega.
Untuk ratingnya, aku member 4,7 dari 5 bintang.
Ditunggu karya selanjutnya Mbak Windry Ramadhina.

Thursday, May 22, 2014

[Blog Tour Interlude #3] Secret Question


Sudah masuk hari ke tiga dari rangkaian Blog Tour Novel Interlude, novel terbaru Windry Ramadhina. Dan, sekarang waktunya mengajukan satu pertanyaan kepada mbak yang ternyata pinter juga bikin sketsa ini.
Hehehe… beberapa waktu yang lalu aku main ke blog-nya, sekedar mencari info tentang novel terbarunya ini. Dan nggak sengaja ketemu postingan yang menjelaskan diskripsi para tokoh di novel Interlude yang dilengkapi sketsa. Wah, bagus banget gambarnya. 
Baiklah, langsung saja…
Yang aku ingin tanyakan adalah tentang pemilihan sudut pandang orang pertama cowok yang aku temui di dua novelnya, Montase, dan London. Aku pikir di Interlude, Mbak Windry juga menggunakan sudut pandang orang pertama. Ternyata, tidak.
Selama ini, penulis cewek lebih sering menulis dari sisi cewek, kan? Nah, ini Mbak Windry malah menulis dari sudut pandang cowok. Jadi, apa alasannya Mbak Widry memilih sudut pandang orang pertama cowok?
Dan, ini jawaban yang diberikannya. Selamat membaca! :)
***
Dari enam novel, dua kali saya memakai sudut pandang pertama lelaki (dalam Montase dan London: Angel). Sebenarnya, tidak sedikit penulis perempuan yang melakukan itu (atau sebaliknya : penulis lelaki yang memakai sudut pandang pertama perempuan). Ayu Utami, misalnya. Dia beberapa kali berpura-pura sebagai Sandi Yuda, pernah juga berpura-pura menjadi suaminya (Enrico). Dee juga dalam Supernova. Lalu, untuk penulis lelaki yang memakai sudut pandang pertama perempuan, ada John Green dan Bernard Batubara. Jadi, saya bukan anomali.
Seringnya, dalam novel roman, penulis memakai sudut pandang pertama perempuan dengan harapan pembaca mudah memposisikan diri sebagai si tokoh utama. Kebanyakan pembaca novel roman adalah perempuan, kan. Ini memang cara paling pas (selain cara paling mudah). Perempuan sebagai subjek. Lelaki sebagai objek. Hanya saja, saat lelaki dijadikan objek dalam sebuah cerita roman, penulis cenderung menghadirkan dia sebagai sosok sempurna, sosok yang bisa diidolakan dan digilai (oleh siapa lagi kalau bukan oleh pembaca). Tujuannya, ya supaya pembaca kelepek-kelepek.
Terkadang, saya bosan dengan pola seperti itu. Saya tidak ingin terus-menerus menghadirkan sosok sempurna kepada pembaca. Sesuatu yang sempurna tidak manusiawi. Dalam beberapa kasus, saya ingin lelaki di cerita saya manusiawi. Lelaki juga boleh punya kelemahan, kan? Lelaki boleh ragu-ragu, takut, gugup, bahkan kikuk. Dan, saat lelaki dijadikan subjek dalam cerita, dia bisa dihadirkan seperti itu. Dia bisa lebih berdimensi, lebih dekat dengan keseharian kita.
Selain itu, saya tertarik menceritakan dunia lelaki. Awalnya, saya sebatas ingin tahu. Lalu, rasa ingin tahu itu mendorong saya untuk mencoba menggali dan membagikannya kepada pembaca. Ternyata, dunia lelaki asyik, berbeda dengan dunia perempuan. Apa yang mereka geluti berbeda. Di mata saya, dunia mereka segar.
Pastinya, agar bisa menulis dengan sudut pandang pertama lelaki, saya harus belajar memahami mereka. Pola pikir lelaki bertolak belakang dengan perempuan. Begitu juga dengan cara mereka melihat masalah. Bagaimana mereka mengambil keputusan. Hal-hal yang mereka perhatikan. Topik pembicaraan mereka. Gaya berteman mereka. Semua. Bukan berarti saya mahir melakukan itu, tetapi saya senang mencoba banyak hal.
Nah, dalam Interlude, saya menggunakan sudut pandang orang ketiga. Walau begitu, sebisa mungkin saya tidak menjadikan lelaki sebagai objek. Di novel keenam saya ini, tokoh utama perempuan dan tokoh utama lelaki memiliki porsi yang sama. Keduanya sama-sama memiliki masalah, sama-sama memengaruhi jalan cerita. Keduanya dihadirkan seimbang. Kai (tokoh utama lelaki dalam Interlude) pun sengaja ditampilkan sebagai sosok yang tidak sempurna. Menurut saya, justru itu daya tarik Kai. Ketidaksempurnaannya membuat saya jatuh hati. Semoga pembaca merasakan hal yang sama.

Nah, itulah jawaban Mbak Windry untuk pertanyaanku.
Mbak satu ini, ya, nggak gaya menjawabnya, nggak gaya menulisnya, selalu berkesan, enak, dan terasa tepat sasaran pada apa yang ingin diketahui penanya.
Dan, beberapa yang dipaparkannya tentang karakter cowok, aku setuju. Seperti, bagaimana cara berpikir, gaya berteman, dan lainnya. Ya, mereka berbeda, mungkin bisa dibilang sedikit berkebalikan dengan cara berpikir perempuan.
Oh, iya. Aku merasakan hal yang sama seperti yang dikatakan Mbak Windry, aku jatuh cinta pada Kai karena ketidaksempurnaannya.
Oke, buat Mbak Windry, terima kasih sekali sudah berkenan menjawab pertanyaanku. Ini sebuah pengalaman langka, bisa berinteraksi langsung dengan penulis ngetop sekelas Windry Ramadhina. 
Sampai ketemu dilain kesempatan, Mbak Windry. *Kecup* 

Wednesday, May 21, 2014

[Blog Tour Interlude #2] Interlude Pieces



Hari kedua Blog Tour Novel Interlude Karya Windry Ramadhina. Dan, sepertinya rangkaian event ini makin menghangat, terutama untuk host-nya.
Blog Tour hari pertama, aku belum menyentuh sama sekali novel ini, karena memang novel baru sampai kemarin, bersamaan dengan posting pertama. Dan, seharian kemarin, aku terlalu larut dalam buaiannya. Sampai-sampai aku hampir menamatkannya. Dan, sekarang hanya bersisa, mungkin, sekitar lima puluh atau empat puluh halaman.
Novel ini ternyata begitu lembut, lemah, bahkan penuh luka. Beberapa kali aku merasakan sentuhan kasat mata di hatiku. Dan ini, beberapa bagian Interlude yang menyentuhku.
 
- Kei - (P.1 – Hlm. 176)
Aku menemukan rasa sendu dalam kalimat-kalimatnya. Nggak hanya di hidup Hanna yang memang diciptakan terlihat lemah, namun juga pada Kai. Dia memang terlihat kokoh, tapi ternyata….

- Kai - (P.4 - Hlm. 147)

Bagiku, dalam kalimat ini aku merasa Kai adalah cowok gentle yang mau mengakui kelemahannya. Dan, aku lebih suka cowok yang mau mengakui seperti apa dirinya dengan gamblang dari pada harus bertemu cowok terlihat baik-baik yang menyembunyikan kebusukannya.

- Kai - (P.5 – Hlm. 131)
Ketulusan, Kai punya ketulusan yang melembutkan hatinya. Ini karena dia mulai merasakan cinta untuk Hanna. Oouuhh….
 
- Hanna - (P.6 – Hlm. 194)
Keputusasaan yang tak berbatas. Ya, itu yang aku rasakan saat membaca kalimat di atas. Rasanya, aku bisa merasakan apa yang ingin disampaikan Hanna lewat kata-katanya.

- Hanna & Kai - (P. 6 - P.9 – Hlm. 147)
Hah… paragraf ini membuatku tersenyum. Manis, namun ada denyut nyerinya.

- Kai - (P.1 – Hlm. 195)
Aku mendengar suara camar bersahutan saat membaca paragraf ini.

- Gitta - (P.1 - Hlm. 191)
Mau tahu apa yang ada di pikiranku saat membacanya? Sahabat-sahabatku yang menolak cinta di antara mereka. Mereka yang memilih menghindari cinta, karena ketakutan pada apa yang belum tentu terjadi. Persahabatan yang renggang, kehilangan teman, tak ada lagi gurauan kacau atau kebersamaan yang hangat, mereka takut semua itu hilang.
Bisa dibilang, Gitta dan Jun mirip dengan dua sahabatku.
Ayolah, cinta tak serumit itu, kawan! (Semoga mereka membaca omonganku ini, dan semoga nggak ada barang terlempar ke arah kepalaku :D)

- Lorraine - (P. 2 – Hlm. 254)
Benarkah masa lalu seberat itu? Mungkin, untuk Hanna iya.

Itulah penggalan Novel Interlude. Apakah semakin bikin penasaran? Ya, itu yang aku harapakan. :D Dan, sampai ketemu besok, di hari ketiga Blog Tour Interlude dengan tema yang berbeda tentunya. Yang jelas,  rangkaian acara ini, makin hari bakal makin seru dan misterius.

Tuesday, May 20, 2014

[Blog Tour Interlude #1] Interlude Wish


Sinopsis Interlude
Hanna,
listen.
Don't cry, don't cry.
The world is envy.
You're too perfect
and she hates it.
Aku tahu kau menyembunyikan luka di senyummu yang retak.
Kemarilah, aku akan menjagamu,
asalkan kau mau mengulurkan tanganmu.
"Waktu tidak berputar ulang. Apa yang sudah hilang,
tidak akan kembali. Dan, aku sudah hilang."
Aku ingat kata-katamu itu. Masih terpatri di benakku.
Aku tidak selamanya berengsek.
Bisakah kau memercayaiku, sekali lagi?
Kilat rasa tidak percaya di matamu,
membuatku tiba-tiba meragukan diriku sendiri.
Tapi, sungguh, aku mencintaimu,
merindukan manis bibirmu.
Apa lagi yang harus kulakukan agar kau percaya?
Kenapa masih saja senyum retakmu yang kudapati?
Hanna, kau dengarkah suara itu?
Hatiku baru saja patah....

* * *
Aku bertemu Interlude, novel terbaru Windry Ramadhina saat aku membuka akun twitter-ku dan bertemu foto profil Mbak Windry yang menggunakan cover novel terbarunya. Sejak saat itu, aku sudah jatuh cinta pada novel ini. Sampai-sampai, aku membuka akunnya dan men-save gambar covernya untuk aku jadikan wallpaper ponselku.
Menurutku, novel ini sudah punya daya tarik untuk membuat terpesona pada pandangan pertama. Apalagi saat membaca tagline-nya, “Selalu ada jeda untuk bahagia”, dan kemudian membaca sinopsisnya, aku benar-benar langsung jatuh cinta setengah mati dengan novel ini. Waoo…
Melihat begitu excited-nya diriku pada novel ini, jelas aku punya harapan besar padanya. Harapan agar novel ini bukan novel biasa yang sekedar bercerita tentang cinta. Ada unsur non-mainstrain yang harus diangkatnya. Harus ada gelombang rasa yang dahsyat saat membacanya. Dan, tokoh-tokohnya harus melahirkan karakter yang kental dan sangat mempengaruhi cerita. Atau, kalau bisa sekalian mampu membuat pembaca tergila-gila sama tokohnya.
Aku memang belum membaca semua novel Mbak Windry. Orange, dan Memory sudah agak langka. Baru London "Angel" dan Montase yang berhasil aku tamatkan. Kedua novel ini membuatku berekspektasi, Windry Ramadhani adalah penulis dengan gaya menulis yang lincah, manis, dan dengan rasa roman yang lembut dan menenangkan seperti aroma Vanila. Itu yang bikin aku merasa Mbak Windry special.
Dalam novel terbarunya ini, aku semakin yakin, dan tentu berharap semoga Interlude mampu menyampaikan rasa yang membuat hatiku jatuh cinta, kasmaran, galau, terluka, bahagia, dan mengharu biru bersama tokoh-tokohnya.
So, aku benar-benar nggak sabar untuk segera membaca novel ini.

 

Jejak Langkahku Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos