Sudah masuk hari ke tiga dari
rangkaian Blog Tour Novel Interlude, novel terbaru Windry Ramadhina. Dan,
sekarang waktunya mengajukan satu pertanyaan kepada mbak yang ternyata pinter
juga bikin sketsa ini.
Hehehe… beberapa waktu yang lalu aku
main ke blog-nya, sekedar mencari info tentang novel terbarunya ini. Dan nggak
sengaja ketemu postingan yang menjelaskan diskripsi para tokoh di novel
Interlude yang dilengkapi sketsa. Wah, bagus banget gambarnya.
Baiklah, langsung saja…
Yang aku ingin tanyakan adalah tentang
pemilihan sudut pandang orang pertama cowok yang aku temui di dua novelnya,
Montase, dan London. Aku pikir di Interlude, Mbak Windry juga menggunakan sudut
pandang orang pertama. Ternyata, tidak.
Selama ini, penulis cewek lebih sering
menulis dari sisi cewek, kan? Nah, ini Mbak Windry malah menulis dari sudut
pandang cowok. Jadi, apa alasannya Mbak Widry memilih sudut pandang orang
pertama cowok?
Dan, ini jawaban yang diberikannya.
Selamat membaca! :)
***
Dari enam novel, dua kali saya memakai sudut pandang pertama lelaki (dalam Montase dan London: Angel). Sebenarnya, tidak sedikit penulis perempuan yang melakukan itu (atau sebaliknya : penulis lelaki yang memakai sudut pandang pertama perempuan). Ayu Utami, misalnya. Dia beberapa kali berpura-pura sebagai Sandi Yuda, pernah juga berpura-pura menjadi suaminya (Enrico). Dee juga dalam Supernova. Lalu, untuk penulis lelaki yang memakai sudut pandang pertama perempuan, ada John Green dan Bernard Batubara. Jadi, saya bukan anomali.Seringnya, dalam novel roman, penulis memakai sudut pandang pertama perempuan dengan harapan pembaca mudah memposisikan diri sebagai si tokoh utama. Kebanyakan pembaca novel roman adalah perempuan, kan. Ini memang cara paling pas (selain cara paling mudah). Perempuan sebagai subjek. Lelaki sebagai objek. Hanya saja, saat lelaki dijadikan objek dalam sebuah cerita roman, penulis cenderung menghadirkan dia sebagai sosok sempurna, sosok yang bisa diidolakan dan digilai (oleh siapa lagi kalau bukan oleh pembaca). Tujuannya, ya supaya pembaca kelepek-kelepek.Terkadang, saya bosan dengan pola seperti itu. Saya tidak ingin terus-menerus menghadirkan sosok sempurna kepada pembaca. Sesuatu yang sempurna tidak manusiawi. Dalam beberapa kasus, saya ingin lelaki di cerita saya manusiawi. Lelaki juga boleh punya kelemahan, kan? Lelaki boleh ragu-ragu, takut, gugup, bahkan kikuk. Dan, saat lelaki dijadikan subjek dalam cerita, dia bisa dihadirkan seperti itu. Dia bisa lebih berdimensi, lebih dekat dengan keseharian kita.Selain itu, saya tertarik menceritakan dunia lelaki. Awalnya, saya sebatas ingin tahu. Lalu, rasa ingin tahu itu mendorong saya untuk mencoba menggali dan membagikannya kepada pembaca. Ternyata, dunia lelaki asyik, berbeda dengan dunia perempuan. Apa yang mereka geluti berbeda. Di mata saya, dunia mereka segar.Pastinya, agar bisa menulis dengan sudut pandang pertama lelaki, saya harus belajar memahami mereka. Pola pikir lelaki bertolak belakang dengan perempuan. Begitu juga dengan cara mereka melihat masalah. Bagaimana mereka mengambil keputusan. Hal-hal yang mereka perhatikan. Topik pembicaraan mereka. Gaya berteman mereka. Semua. Bukan berarti saya mahir melakukan itu, tetapi saya senang mencoba banyak hal.Nah, dalam Interlude, saya menggunakan sudut pandang orang ketiga. Walau begitu, sebisa mungkin saya tidak menjadikan lelaki sebagai objek. Di novel keenam saya ini, tokoh utama perempuan dan tokoh utama lelaki memiliki porsi yang sama. Keduanya sama-sama memiliki masalah, sama-sama memengaruhi jalan cerita. Keduanya dihadirkan seimbang. Kai (tokoh utama lelaki dalam Interlude) pun sengaja ditampilkan sebagai sosok yang tidak sempurna. Menurut saya, justru itu daya tarik Kai. Ketidaksempurnaannya membuat saya jatuh hati. Semoga pembaca merasakan hal yang sama.
Nah, itulah jawaban Mbak Windry untuk pertanyaanku.
Mbak satu ini, ya, nggak gaya menjawabnya, nggak gaya menulisnya,
selalu berkesan, enak, dan terasa tepat sasaran pada apa yang ingin diketahui
penanya.
Dan, beberapa yang dipaparkannya tentang karakter cowok, aku setuju.
Seperti, bagaimana cara berpikir, gaya berteman, dan lainnya. Ya, mereka
berbeda, mungkin bisa dibilang sedikit berkebalikan dengan cara berpikir
perempuan.
Oh, iya. Aku merasakan hal yang sama seperti yang dikatakan Mbak
Windry, aku jatuh cinta pada Kai karena ketidaksempurnaannya.
Oke, buat Mbak Windry, terima kasih sekali sudah berkenan menjawab
pertanyaanku. Ini sebuah pengalaman langka, bisa berinteraksi langsung dengan
penulis ngetop sekelas Windry Ramadhina.
Sampai ketemu dilain kesempatan, Mbak Windry. *Kecup*
Jawabannya....wew. ini pertanyaan ke-3 dari blogtour interlude jawabannya tetap memikat dan menarik. :))
ReplyDeleteKadang aku bersyukur bisa baca novel dengan sudut pandang laki-laki, soalnya hidup mereka unik dan aku pengen tau apa yang mereka pikir & rasakan dibalik topeng sok kuat mereka :))
ReplyDeleteSesuatu yang sempurna memang tidak manusiawi hihi.
ReplyDeleteAll : Terima kasih sudah menyisipkan sepatah dua patah kata :D
ReplyDelete