Wednesday, July 17, 2013

Resensi - MELBOURNE : REWIND “Musik dan Cahaya, Lalu cinta dan masa lalu”



Penulis : Winna Efendi
Penerbit : GagasMedia
Tahun Terbit : 2013
Halaman : xii + 328 hlm
Harga : Rp. 52.000
ISBN : 978-979-780-645-3
“Apa yang harus kau katakan pada seseorang yang sudah lima tahun menghilang dari hidupmu? Bagaimana kalian harus bicara─apakah santai dengan panggilan lama yang masih melekat, atau secara formal seakan baru pertama bertemu? Bagaimana mendefinisikan hubungan kalian sekarang, teman, mantan, kenalan, atau justru orang asing?” ─Laura─ hal.25
Itulah rasa yang pertama kali muncul saat Max dan Laura bertemu kembali. Dua orang dari masa lalu yang mencoba menata kembali hubungan mereka, dan berusaha menjadi sahabat untuk mengulang aktifitas yang telah lama mereka kubur, seperti duduk di sofa pojok Prodence Bar dengan segelas kopi kesukaan mereka, dan nonton film slasher yang nggak semua orang suka.
Ternyata, masa lalu tak membuat mereka menolak satu sama lain. Mereka merasa nyaman, dan itu cukup menjadi alasan mereka untuk terus bertemu.
Nyaman adalah berbagi waktu tanpa perlu merasa canggung. Nyaman adalah menikmati keberadaan masing-masing, walau yang dapat kami berikan kepada satu sama lain hanyalah kehadiran itu sendiri….” Laura hal. 94.

Namun, perlahan Max merasakan harapan yang lebih dari rasa nyaman itu.
“Dan sekarang, memandang dia yang ada di hadapan gue, gue mulai merasakan perasaan tersebut kembali merayap, seolah selama itu hanya mengendap dan menunggu untuk gue sadari. Apa rasa itu residu dari masa lalu, atau perasaan yang sama sekali baru, gue masih belum tahu.” ─Max─ hal. 125
Melbourne Music Week - Sketsa "Melbourne"
Apa Laura mempunyai perasaan yang sama dengan Max? Sepertinya tidak begitu, dia tetap menanggap masa lalunya cukup sebatas teman. Kemudian, seorang laki-laki dengan selera musik seunik Laura muncul. Dia adalah Evan, si dokter hewan yang mengajaknya ke Melbourne Music Week, menikmati alunan musik di bawah rintikan hujan dengan tangan Evan yang membungkus tangan Laura. Dan, saat itulah dia merasakan ada rasa hangat di hatinya.
“Aku tidak tahu bagaimana persisnya mendefinisikan rasa yang kumiliki untuk Evan saat ini. Apakah kagum, rasa tertarik, atau sekedar solidaritas karena kami memiliki sesuatu yang tidak dipahami orang lain…… Namun, detik ini, aku merasakan sedikit percikan keberanian yang tidak melepaskan pegangan tangan itu, dan memutuskan untuk tetap bertahan seperti ini, sedikit lebih lama.” ─Laura─ hal. 138

Tapi, kenyataan memaksa Laura kecewa dan harus menerima kekalahannya. Kalah karena Cecilia ‘lah yang pertama bertemu Evan, dan dia juga yang pertama merebut hati pria itu. Yap, Evan adalah kekasih sahabat baik Laura, Cee.
Novel rangkaian STPC kali ini bersetting di Melbourne. Dan bertema satu kata “Rewind”, sebuah tombol yang akan memutar kembali masa lalu. Dan, kali ini Winna Efendi tidak berkisah tentang sahabat menjadi cinta. Tapi, mantan kekasih menjadi sahabat baru menjadi cinta. Unik ‘kan? Sama uniknya dengan judul-judul babnya yang seperti sebuah daftar musik di ipod, bahkan novel ini terasa seperti sebuah kaset dalam bentuk buku. 
Kanapa aku sebut seperti itu? Karena di setiap babnya kamu akan bertemu musik yang berbeda, yang akan menjadi tema dari bab. Seperti di Track 1, kamu akan dibuat bersenandung bersama John Mayer dengan lagunya Back To You, lalu Track 2, Gotten dari Slash feat Adam Levine, sampai track 16 dengan lagu Love Song dari The Cure. Saranku, download dulu semua track di buku ini, dengarkan dulu lagunya, lalu baca novelnya. Aku yakin, kau akan menemukan feel yang lebih dalam.
Track 1 : Back To You by John Mayer - Sketsa "Melbourne"
Lalu bagaimana dengan cara bertuturnya? Dengan membaca siapa penulisnya saja, kamu tak perlu meragukannya. Novel ini bertutur dengan rasa yang sangat tersampaikan. Walaupun novel ini ditulis dengan sudut pandang Max dan Laura. Namun, kamu akan merasakan dua tokoh tetap bercerita dengan cara yang berbeda, sangat berbeda sesuai dengan karakter mereka.
Begitu juga settingnya. Penggambarannya yang tidak terlalu detail namun mudah di tangkap oleh indra khayal siapapun yang membaca. Dan, aku paling suka dengan setting Prudece Bar. Rasanya, membaca bagaimana Max dan Laura menikmati waktu mereka di sana dengan segelas kopi pastinya, membuat aku juga ingin ke sana dan mencoba sofa tua di pojok kafe itu dengan segelas hot cappucinno sambil memandang hujan. Pasti menyenangkan.
Prodence Bar - Sketsa "Melbourne"
Dalam novel ini, jika musik adalah dunia Laura yang membawanya menjadi penyiar radio, maka cahaya adalah obsesi terbesar Max yang membawanya menjadi lighting designer yang menciptakan pencahayaan yang spektakuler di konser-konser band besar. Dan, disinilah aku ikut mengagumi cahaya karena sebuah diskripsi puitis Max.
“… Cahaya cantik karena kerlipnya yang kontras dengan kegelapan, tapi banyak yang nggak sadar, cahaya itu lebih dari sekedar estetika maupun sisi fungsionalnya saja….” ─Max─ hal. 56.
Dan, dari Max, aku baru menyadari apa alasan aku memilih semua track di winamp ponsel atau laptopku, ternyata tidak hanya karena aku menyukai lagu-lagu itu, ada alasan lebih yang dia uraikan, dan aku sangat menyetujuinya.
“Lagu-lagu dalam ipod seseorang itu mengungkapkan banyak hal tentang seseorang, hal-hal yang dia pikirkan, apa yang membuatnya sedih, dan yang membuatnya bahagia. Benda itu diisi dengan lagu-lagu yang mewakili perasaan-perasaan itu dalam hidupnya. It’s the soundtrack, the story of their lives.” ─Max─ hal. 192.

Tapi, aku selalu merasakan kurangnya ketertarikan di bagian awalnya. Sebenarnya bagus, tapi kurang membuat pembaca merasakan perasaan tokohnya. Aku harus meraba dulu berapa bab, setelah itu baru aku merasakan tersedot seluruhnya pada cerita, membuatku tak lagi berpaling dan menikmatinya sampai akhir. Dan, aku selalu begitu disetiap novel Winna.
Sedangkan untuk endingnya, cukup memberi poin dan kesan. Namun, lagi-lagi jangan mengharap ending yang romatis atau dramatis. Kau tak akan menemukannya disini. Tapi, kau akan diajak membayangkan, menebak lebih tepatnya, bagaimana akhir dari Max dan Laura. Dan aku, aku jelas bisa menebaknya.
Untuk nilainya, aku berikan 4 dari 5 bintang, sangat memuaskan bukan─untuk sebuah novel yang memiliki keunikan di setiap lembarnya? Yah, kau harus membaca sendiri agar kau tahu sensasi menikmati musik dalam sebuah novel. Good job, Kak Winna Efendi. Aku selalu menunggu karya selanjutnya!

No comments:

Post a Comment

 

Jejak Langkahku Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos