Penulis : Winna Efendi
Penerbit : GagasMedia
Tahun Terbit : 2013
Halaman : xii + 328 hlm
Harga : Rp. 52.000
ISBN : 978-979-780-645-3
“Apa yang harus
kau katakan pada seseorang yang sudah lima tahun menghilang dari hidupmu?
Bagaimana kalian harus bicara─apakah santai dengan panggilan lama yang masih
melekat, atau secara formal seakan baru pertama bertemu? Bagaimana
mendefinisikan hubungan kalian sekarang, teman, mantan, kenalan, atau justru
orang asing?” ─Laura─ hal.25
Itulah rasa yang
pertama kali muncul saat Max dan Laura bertemu kembali. Dua orang dari masa
lalu yang mencoba menata kembali hubungan mereka, dan berusaha menjadi sahabat
untuk mengulang aktifitas yang telah lama mereka kubur, seperti duduk di sofa
pojok Prodence Bar dengan segelas kopi kesukaan mereka, dan nonton film slasher yang nggak semua orang suka.
Ternyata, masa lalu tak
membuat mereka menolak satu sama lain. Mereka merasa nyaman, dan itu cukup
menjadi alasan mereka untuk terus bertemu.
“Nyaman adalah
berbagi waktu tanpa perlu merasa canggung. Nyaman adalah menikmati keberadaan
masing-masing, walau yang dapat kami berikan kepada satu sama lain hanyalah
kehadiran itu sendiri….” Laura hal. 94.
Namun, perlahan Max
merasakan harapan yang lebih dari rasa nyaman itu.
“Dan sekarang,
memandang dia yang ada di hadapan gue, gue mulai merasakan perasaan tersebut
kembali merayap, seolah selama itu hanya mengendap dan menunggu untuk gue
sadari. Apa rasa itu residu dari masa lalu, atau perasaan yang sama sekali
baru, gue masih belum tahu.” ─Max─ hal. 125
Melbourne Music Week - Sketsa "Melbourne" |
Apa Laura mempunyai
perasaan yang sama dengan Max? Sepertinya tidak begitu, dia tetap menanggap
masa lalunya cukup sebatas teman. Kemudian, seorang laki-laki dengan selera
musik seunik Laura muncul. Dia adalah Evan, si dokter hewan yang mengajaknya ke
Melbourne Music Week, menikmati alunan musik di bawah rintikan hujan dengan tangan
Evan yang membungkus tangan Laura. Dan, saat itulah dia merasakan ada rasa
hangat di hatinya.
“Aku tidak tahu
bagaimana persisnya mendefinisikan rasa yang kumiliki untuk Evan saat ini.
Apakah kagum, rasa tertarik, atau sekedar solidaritas karena kami memiliki
sesuatu yang tidak dipahami orang lain…… Namun, detik ini, aku merasakan
sedikit percikan keberanian yang tidak melepaskan pegangan tangan itu, dan
memutuskan untuk tetap bertahan seperti ini, sedikit lebih lama.”
─Laura─ hal. 138
Tapi, kenyataan memaksa
Laura kecewa dan harus menerima kekalahannya. Kalah karena Cecilia ‘lah yang
pertama bertemu Evan, dan dia juga yang pertama merebut hati pria itu. Yap,
Evan adalah kekasih sahabat baik Laura, Cee.
Novel rangkaian STPC
kali ini bersetting di Melbourne. Dan
bertema satu kata “Rewind”, sebuah
tombol yang akan memutar kembali masa lalu. Dan, kali ini Winna Efendi tidak
berkisah tentang sahabat menjadi cinta. Tapi, mantan kekasih menjadi sahabat
baru menjadi cinta. Unik ‘kan? Sama uniknya dengan judul-judul babnya yang seperti
sebuah daftar musik di ipod, bahkan novel ini terasa seperti sebuah kaset dalam
bentuk buku.
Kanapa aku sebut
seperti itu? Karena di setiap babnya kamu akan bertemu musik yang berbeda, yang
akan menjadi tema dari bab. Seperti di Track 1, kamu akan dibuat bersenandung
bersama John Mayer dengan lagunya Back To You, lalu Track 2, Gotten dari Slash
feat Adam Levine, sampai track 16 dengan lagu Love Song dari The Cure. Saranku,
download dulu semua track di buku
ini, dengarkan dulu lagunya, lalu baca novelnya. Aku yakin, kau akan menemukan feel yang lebih dalam.
Track 1 : Back To You by John Mayer - Sketsa "Melbourne" |
Lalu bagaimana dengan
cara bertuturnya? Dengan membaca siapa penulisnya saja, kamu tak perlu
meragukannya. Novel ini bertutur dengan rasa yang sangat tersampaikan. Walaupun
novel ini ditulis dengan sudut pandang Max dan Laura. Namun, kamu akan
merasakan dua tokoh tetap bercerita dengan cara yang berbeda, sangat berbeda
sesuai dengan karakter mereka.
Begitu juga settingnya. Penggambarannya yang tidak
terlalu detail namun mudah di tangkap oleh indra khayal siapapun yang membaca.
Dan, aku paling suka dengan setting
Prudece Bar. Rasanya, membaca bagaimana Max dan Laura menikmati waktu mereka di
sana dengan segelas kopi pastinya,
membuat aku juga ingin ke sana dan mencoba sofa tua di pojok kafe itu dengan segelas
hot cappucinno sambil memandang hujan. Pasti menyenangkan.
Prodence Bar - Sketsa "Melbourne" |
Dalam novel ini, jika
musik adalah dunia Laura yang membawanya menjadi penyiar radio, maka cahaya
adalah obsesi terbesar Max yang membawanya menjadi lighting designer yang menciptakan pencahayaan yang spektakuler di
konser-konser band besar. Dan, disinilah aku ikut mengagumi cahaya karena
sebuah diskripsi puitis Max.
“… Cahaya cantik karena kerlipnya
yang kontras dengan kegelapan, tapi banyak yang nggak sadar, cahaya itu lebih
dari sekedar estetika maupun sisi fungsionalnya saja….”
─Max─ hal. 56.
Dan, dari Max, aku baru
menyadari apa alasan aku memilih semua track di winamp ponsel atau laptopku,
ternyata tidak hanya karena aku menyukai lagu-lagu itu, ada alasan lebih yang
dia uraikan, dan aku sangat menyetujuinya.
“Lagu-lagu dalam
ipod seseorang itu mengungkapkan banyak hal tentang seseorang, hal-hal yang dia
pikirkan, apa yang membuatnya sedih, dan yang membuatnya bahagia. Benda itu
diisi dengan lagu-lagu yang mewakili perasaan-perasaan itu dalam hidupnya. It’s the soundtrack, the story of
their lives.”
─Max─ hal. 192.
Tapi, aku selalu merasakan
kurangnya ketertarikan di bagian awalnya. Sebenarnya bagus, tapi kurang membuat
pembaca merasakan perasaan tokohnya. Aku harus meraba dulu berapa bab, setelah
itu baru aku merasakan tersedot seluruhnya pada cerita, membuatku tak lagi
berpaling dan menikmatinya sampai akhir. Dan, aku selalu begitu disetiap novel
Winna.
Sedangkan untuk
endingnya, cukup memberi poin dan kesan. Namun, lagi-lagi jangan mengharap
ending yang romatis atau dramatis. Kau tak akan menemukannya disini. Tapi, kau
akan diajak membayangkan, menebak lebih tepatnya, bagaimana akhir dari Max dan
Laura. Dan aku, aku jelas bisa menebaknya.
Untuk nilainya, aku
berikan 4 dari 5 bintang, sangat memuaskan bukan─untuk sebuah novel yang
memiliki keunikan di setiap lembarnya? Yah, kau harus membaca sendiri agar kau
tahu sensasi menikmati musik dalam sebuah novel. Good job, Kak Winna Efendi. Aku
selalu menunggu karya selanjutnya!
No comments:
Post a Comment